Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Beras Mahal di Negeri Lumbung Padi

Pernyataan Presiden Joko Widodo soal beras tak sepenuhnya dapat dipercaya.

13 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surya Gentha Akmal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University serta Indonesian Center for Research on Bioinvasions

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suka atau tidak suka, kita harus mengakui Indonesia masih rapuh dalam persoalan ketahanan pangan. Analogi "ayam kelaparan di lumbung padi" sangat menggambarkan paradoks yang saat ini terjadi. Indonesia, yang sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor pertanian, harus kesulitan menggapai harga beras yang kian membubung tinggi. Masyarakat harus merasakan beban ekonomi yang berat untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Kondisi ini tidak hanya menggoyahkan stabilitas sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga mengancam ketahanan pangan negara.

Dalam empat bulan terakhir, kenaikan harga beras telah menyentuh Rp 14 ribu per kilogram untuk beras medium dan Rp 18 ribu per kilogram untuk beras premium. Suatu anomali dan menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Sedangkan beras murah dari Perum Bulog dijual Rp 51 ribu per kemasan 5 kilogram atau setara dengan Rp 10.200 per kilogram. Harga beras yang terus meroket ini disebut-sebut akibat perubahan iklim yang menyebabkan sejumlah wilayah di Indonesia mengalami gagal panen.

Presiden Joko Widodo mengatakan, dalam pidatonya saat menyapa penerima bantuan beras di Tangerang Selatan, Banten, kondisi ini hampir terjadi di semua negara di seluruh dunia. Namun faktanya pernyataan Presiden itu tak sepenuhnya dapat dipercaya. Sebab, negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam, tidak mengalami hal yang sama seperti Indonesia. Harga beras eceran di Malaysia dan Singapura pada 2024 tercatat Rp 6-12 ribu per kilogram.

Beras menjadi salah satu komoditas strategis dan politis karena menyangkut hajat orang banyak. Tingginya kebutuhan dan konsumsi beras tentu memerlukan pasokan yang cukup serta distribusi yang merata. Ketimpangan dalam mengurus hal ini akan menjadi problematika yang tak berkesudahan.

Salah Kaprah Tata Kelola

Persediaan beras lokal dari tahun ke tahun terus menipis dan cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh maraknya alih fungsi lahan dari persawahan menjadi kawasan industri, perumahan, dan lainnya. Sedangkan permintaan beras kian meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.

Hal lain yang menjadi penyebab harga beras terus merangkak naik adalah implementasi bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah pada masa kampanye beberapa bulan lalu. Situasi ini menjadi pemicu harga beras melambung dan beras premium langka di pasar. Kita juga dibuat ternganga saat mengintip data cadangan beras pemerintah di gudang Bulog, yang ternyata tak cukup banyak pada pengujung tahun.

Tak dinyana, pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Perdagangan pada tahun ini membuka opsi mengimpor 2 juta ton beras dari Thailand. Meski impor beras menjadi solusi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, kebijakan impor yang berlebihan dapat merugikan petani lokal dan mengganggu ketahanan pangan Indonesia.

Situasi ini seharusnya dipertimbangkan secara matang. Jangan sampai beras impor dari negara tetangga malah akan mengganggu panen raya petani, yang diperkirakan jatuh pada April hingga Mei 2024. Ini tentu menjadi dilema jika beras impor itu datang menjelang panen raya. Bak makan buah simalakama, harapan ingin membaik malah makin tercekik.

Badan Pusat Statistik mewanti-wanti bahwa kenaikan harga beras memberikan sumbangan signifikan terhadap inflasi. Berdasarkan catatan BPS pada minggu kedua Februari 2024, harga beras menyumbang 1,65 persen terhadap inflasi, naik 0,93 persen dari pekan pertama Februari 2024. Pemerintah mesti terus berupaya menjaga kecukupan kebutuhan beras dalam negeri.

Penting bagi pemerintah mengevaluasi secara mendalam tata kelola beras di dalam negeri, termasuk transparansi dalam menyampaikan informasi harga beras dan kebijakan impor. Langkah-langkah yang diambil haruslah memperhatikan kepentingan petani lokal serta menjaga stabilitas harga beras agar tetap terjangkau oleh masyarakat, serta tata kelola pertanian harus naik kelas dan tak lagi salah kaprah.

Pembenahan

Ada beberapa langkah yang diperlukan agar permasalahan harga beras ini tidak kembali menjadi polemik di masa mendatang. Pertama, pemerintah harus menindak tegas praktik monopoli dan kartel di sektor distribusi beras dengan cara meningkatkan efisiensi distribusi. Hal yang paling utama harus dilakukan adalah memperbaiki rantai distribusi beras untuk mengurangi biaya distribusi dan mencegah praktik monopoli atau spekulasi harga yang dapat menyebabkan kenaikan harga. Selain itu, pemerintah harus menjaga transparansi data stok pangan nasional agar masyarakat dapat memahami situasi sebenarnya sehingga dapat mengurangi spekulasi harga.

Kedua, penting untuk memberikan edukasi kepada petani tentang penggunaan pupuk yang efisien dan kreatif, serta mendorong sinergi berbagai pihak terkait dalam meningkatkan produksi pangan secara mandiri. Ketiga, hal yang menjadi kunci adalah bagaimana menstimulasi produksi beras domestik dengan mendorong petani meningkatkan produksi beras melalui insentif, seperti subsidi pupuk dan benih yang terjangkau. Pemerintah juga harus memberikan pelatihan dan akses teknologi kepada petani untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Keempat, penguatan kerja sama dengan negara tetangga, yaitu membangun kerja sama dengan negeri-negeri jiran dalam hal pangan, seperti pertukaran teknologi, penelitian bersama, atau pembentukan cadangan pangan regional, untuk mengurangi ketergantungan pada impor beras.

Penerapan langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kenaikan harga beras dan menjaga stabilitas pasokan beras di Indonesia. Namun, perlu diingat, masalah kenaikan harga beras tidak dapat diatasi dengan cepat dan mudah. Diperlukan kerja sama dan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, produsen, distributor, dan masyarakat, untuk mencapai tujuan itu. Ke depan, tidak ada lagi kebijakan pertanian kita hadir tanpa data yang dapat diandalkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

PENGUMUMAN : Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Surya Gentha Akmal

Surya Gentha Akmal

Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan Indonesian Center for Research on Bioinvasions

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus