Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perebutan kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2019-2024 menelurkan ide tak wajar. Sejumlah partai politik mengusulkan penambahan kursi pimpinan menjadi sepuluh. Angka ini sesuai dengan jumlah fraksi di MPR periode mendatang, yaitu sembilan fraksi dari partai dan satu dari Dewan Perwakilan Daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Para politikus berdalih, penambahan itu untuk mencegah perebutan kursi Majelis. Alasan seperti ini jelas mengada-ada. Soalnya, Undang-undang tentang MPR, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) sudah mengatur secara gamblang tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MPR. Di DPR pun, jumlah anggota pimpinan Dewan juga tidak disesuaikan dengan jumlah partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sikap para politikus yang terkesan hanya memburu jabatan sungguh memalukan. Mereka seenaknya saja mengubah tatanan. Padahal Undang-Undang tentang MD3 baru saja diubah tahun lalu. Adapun kursi pimpinan MPR sudah diperbanyak dari lima menjadi delapan anggota, terdiri atas satu ketua dan tujuh wakil ketua. Aturan ini belum dilaksanakan sama sekali karena memang berlaku untuk MPR periode sekarang.
Jika fraksi-fraksi di MPR ngotot menggulirkan usul itu, berarti pekerjaan DPR akan bertambah: merevisi lagi Undang-Undang MD3. Betapa banyak anggaran negara yang dihamburkan untuk melayani kepentingan elite partai. Proses revisi undang-undang akan menguras tenaga dan biaya yang semestinya bisa dicurahkan untuk menyelesaikan rancangan undang-undang yang lain.
Tambahan jabatan pimpinan MPR pun akan menyedot anggaran yang tidak sedikit untuk fasilitas, staf, dan pengawalan. Sebagai gambaran, akibat perubahan jumlah anggota pimpinan MPR dari lima menjadi delapan orang, lembaga ini mengajukan tambahan anggaran Rp 350 miliar. Tambahan anggaran akan semakin membengkak jika jumlah anggota pimpinan mencapai 10 orang.
Sikap para politikus di MPR semakin memperlihatkan bahwa mereka sama sekali tidak memikirkan kepentingan rakyat. Masyarakat hanya dibutuhkan sebagai pencoblos pada saat pemilu. Setelah berkuasa, para politikus mudah melupakan janji yang mereka sampaikan ketika berkampanye. Perilaku kalangan elite partai juga menunjukkan adanya praktik "kartel politik" dalam demokrasi kita. Dalam berpolitik, mereka amat pragmatis dan mengabaikan ideologi partai.
Tak mengherankan jika banyak politikus sering menyodorkan gagasan aneh yang jauh dari akal sehat dan kepentingan masyarakat. Tak cuma urusan penambahan kursi pimpinan MPR, belakangan ini juga muncul ide untuk menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman bagi presiden. Gagasan seperti ini jelas mubazir. MPR tidak perlu membuat GBHN karena presiden kini dipilih langsung oleh rakyat, bukan lagi mandataris MPR.
Perebutan kursi pimpinan MPR hanyalah satu gejala buruk perilaku elite partai. Kita semua mesti cemas akan gejala umum yang mengkhianati demokrasi: para politikus semakin mengutamakan kepentingan kelompok mereka, bahkan diri sendiri.