Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbondong-bondong pengungsi Rohingya mendarat di Langsa, Aceh. Tak semua orang dewasa. Banyak yang masih anak-anak, bahkan ada bayi. Mengenaskan. Sedangkan di laut masih ada ribuan pengungsi lain di atas perahu yang sangat tidak layak untuk mengangkut manusia.
Setiap negara memang punya hak untuk menolak imigran gelap, apalagi tanpa disertai dokumen secuil pun. Pertimbangannya adalah beban yang tidak sedikit untuk menampung mereka. Namun etnis Rohingya, kelompok minoritas yang terusir dari Provinsi Arakan, Myanmar, bukan sekadar imigran gelap. Mereka adalah pengungsi karena terdesak oleh situasi politik di negaranya. Mereka teraniaya. Sepatutnya kita sebagai bangsa beradab menerima mereka atas nama kemanusiaan. Kita harus tegas bersikap bahwa setiap manusia memiliki hak hidup dan mendapatkan tempat di dunia ini.
Etnis Rohingya termasuk "kelompok malang" di negeri mayoritas pemeluk Buddha itu. Sejak 1982 kelompok etnis itu tak diakui sebagai warga Myanmar, apalagi banyak dari mereka bekerja di Thailand. Myanmar hanya mengakui 135 kelompok etnis di negara itu. Rohingya tidak termasuk.
Etnis Rohingya lalu dipaksa tinggal di kamp-kamp di Provinsi Arakan dengan pengawasan junta militer yang represif. Meski diawasi militer, gesekan antaretnis semakin mengucilkan Rohingya. Mereka pun kocar-kacir dan akhirnya menumpang perahu yang biasa dipakai menangkap ikan untuk mencari "tanah penampungan". Malaysia dan Thailand-juga Indonesia-pada awalnya tak sudi menerima mereka.
Kini kita memutuskan menerima para pengungsi itu, yang sebagian juga ada warga Bangladesh-kelompok ini masih lebih untung karena umumnya memiliki dokumen yang sah. Langkah pemerintah patut dipuji. Kita tak boleh terlalu ketat berpegang pada identitas kewarganegaraan. Tangis bocah-bocah pengungsi yang kelaparan itu sudah cukup mengetuk hati kita untuk melupakan sejenak dokumen keimigrasian.
Seraya menolong mereka dengan segala keterbatasan, kita bisa mengajak negara-negara ASEAN lebih melihat kasus ini dari kacamata kemanusiaan. Kita harus membawa semangat ASEAN untuk mendesak Myanmar bertanggung jawab terhadap pengungsi Rohingya. Myanmar tak bisa lepas tangan begitu saja dengan dalih etnis Rohingya bukan warga negara yang sah. Nyatanya mereka memang tinggal di negeri itu dan "melompat" ke laut juga dari Myanmar. Sembari menekan Myanmar, kita harus mencari jalan keluar bagaimana mengatasi masalah ini.
Kita punya pengalaman kedatangan "manusia perahu" dari Vietnam dan kita menampungnya di Pulau Galang, sebuah pulau kecil di Provinsi Riau Kepulauan. Setelah beberapa tahun pengungsi Vietnam itu bertahan di Galang, ada negara yang bersedia menampung mereka, dan ada kebijakan baru di Vietnam sehingga "manusia perahu" itu bisa dikembalikan ke negerinya dengan aman.
Pengungsi Rohingya bisa ditangani dengan cara yang kurang-lebih sama meski tak harus dicarikan pulau khusus untuk menampung mereka. Ini tentu bisa dikategorikan rencana jangka pendek. Adapun jangka panjang adalah bagaimana mencari penyelesaian yang tuntas dengan melibatkan lembaga internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNHCR dan lembaga internasional lain yang peduli pada pengungsi, misalnya International Organization for Migration.
Rohingya adalah tragedi kemanusiaan, wajib kita peduli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo