Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK selamanya sosok Dewi Keadilan yang digambarkan menghunus kelewang dan mencangking timbangan itu harus menutup matanya rapat-rapat. Proses peradilan tidak boleh buta manakala menyidik, memeriksa, menggelar sidang, lalu menjatuhkan vonis terhadap seorang anak yang baru saja melewati usia 13 tahun. Anak harus mendapat perlakuan khusus.
Aki—bukan nama sebenarnya—adalah remaja yang pada suatu dinihari memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi di jalan tol Jagorawi, dan kemudian mendapati bahwa tindakannya telah menimbulkan mudarat teramat besar. Ia kehilangan kendali, menerabas pembatas jalan, masuk ke lajur untuk kendaraan berlawanan arah, lalu menabrak Toyota Avanza dan menghantam Daihatsu Gran Max yang juga sedang melaju. Korban berjatuhan: enam orang tewas, sembilan lainnya kini menjalani perawatan intensif.
Aki, si pelaku utama musibah ini, sekaligus merupakan korban (baca: produk) dari berbagai kondisi: tekanan kawan seusia (peer pressure), ketidakpedulian orang tua atau kasih sayang yang salah kaprah, atau lingkungan elite selebritas yang membentuk kebiasaan buruknya. Dengan kata lain, anak adalah korban dari orang tua atau lingkungan yang—secara sengaja atau tidak—membiarkannya terlibat dalam pelanggaran hukum.
Pasal 77 Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa hanya orang berusia 17 tahun ke atas yang berhak mengantongi surat izin mengemudi. Namun lemahnya penegakan hukum kemudian telah mengakibatkan seorang anak ambil bagian dalam pelanggaran yang berakibat fatal ini. Menurut Road Safety Association, di Jakarta saja angka kecelakaan yang diakibatkan oleh pengendara di bawah umur melonjak 160 persen pada 2012—dibandingkan dengan pelanggaran yang sama pada tahun sebelumnya.
Secara hipotetis bisa dikatakan bahwa kecelakaan maut ini bisa dihindari jika hukum dapat mencegah putra musikus Ahmad Dhani itu melanggar aturan. Karena kecelakaan itu bukan kesalahannya semata, Aki berhak mendapat peradilan yang tidak bersifat punitif—yang bisa membekaskan trauma di kemudian hari—tapi yang bersifat edukatif alias memperbaiki.
Sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, perlakuan terhadap anak yang melanggar hukum harus senantiasa mengacu pada kepentingan terbaik bagi si anak. Negara harus sanggup menjamin hak-hak si anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang—kendati ia sedang berseteru dengan hukum.
Menghadapi anak di bawah umur ini, seyogianya negara memperlihatkan sisi baiknya sebagai "orang tua" yang bijak dalam menjalankan peradilan. Suatu peradilan di ruang tertutup dan oleh aparat yang tidak berseragam tentu bukan hal yang susah diwujudkan. Diharapkan pula, selama proses peradilan nanti, Aki tidak perlu ditahan.
Aki kini resmi berstatus tersangka. Kecelakaan ini merupakan ujian dan kesempatan yang tepat bagi penegak hukum untuk menertibkan jalan raya dari pengendara di bawah umur. Juga kesempatan untuk menunjukkan bahwa negara peduli kepada anak-anak dan memberikan perlindungan serius bagi anak—sekalipun mereka sedang memiliki persoalan hukum. Untuk para orang tua, terutama yang mampu memanjakan anak-anaknya dengan kemewahan bertransportasi, kasus ini merupakan pelajaran yang mahal tentang bagaimana sebaiknya bersikap dalam mengejawantahkan kasih sayang terhadap anak.
berita terkait di halaman 92
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo