Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Berkabung

Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal, Rabu, 11 September lalu.

14 September 2019 | 07.30 WIB

Presiden ketiga BJ Habibie menggandeng tangan istrinya, Asri Ainun Habibie pada acara peresmian The Habibie Center di ruang Cendrawasih, Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, 22 Mei 2000. Habibie yang tutup usia pada 11 September 2019 kini kembali bersatu dengan istri tercintanya yang lebih dulu wafat pada 22 Mei 2010 lalu. dok.TEMPO/Bernard Chaniago
Perbesar
Presiden ketiga BJ Habibie menggandeng tangan istrinya, Asri Ainun Habibie pada acara peresmian The Habibie Center di ruang Cendrawasih, Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, 22 Mei 2000. Habibie yang tutup usia pada 11 September 2019 kini kembali bersatu dengan istri tercintanya yang lebih dulu wafat pada 22 Mei 2010 lalu. dok.TEMPO/Bernard Chaniago

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Toriq Hadad
@thhadad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal, Rabu, 11 September lalu. Presiden RI ketiga itu mencatatkan banyak kenangan, termasuk sepenggal sejarah majalah Tempo, yang hidup kembali pada zaman pemerintahannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ya, majalah Tempo terbit kembali pada 1998 atas inisiatif Presiden Habibie-bersama Menteri Penerangan Yunus Yosfiah-setelah terkubur empat tahun pada era Soeharto. Tentu Habibie ingin membangun pemerintahan yang lebih demokratis dibanding pendahulunya. Memberikan hak hidup kepada media independen, seperti majalah Tempo, mungkin memenuhi tujuan itu. Tak ada yang salah dengan itu. Apa pun motifnya, majalah Tempo akhirnya terbit lagi, lima bulan setelah Habibie memerintah.

Ada catatan penting. Setelah majalah Tempo terbit kembali, Habibie tidak sekali pun minta "panggung" agar publik bertepuk tangan untuk jasanya itu. Habibie tidak menekan majalah Tempo untuk menulis hanya hal-hal yang baik tentang pemerintahannya. Majalah Tempo tak pernah dipanggil ke Istana, diundang untuk "diceramahi", apalagi ditodong dimintai saham seperti pengalaman banyak media pada era Soeharto. Habibie tidak pernah menuntut "konsesi", misalnya untuk mengganti pemimpin redaksi bila pemberitaan tak sesuai dengan seleranya, seperti yang dilakukan salah satu kroni Soeharto ketika majalah Tempo dibredel pada 1994.

Pengalaman majalah Tempo dengan Habibie memang berbeda dengan pada era Soeharto saat ia menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi. Pada 1994, dalam proyek pembelian kapal perang eks Jerman Timur yang sangat kontroversial, ia berbeda pandangan dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad tentang harga pembelian 39 kapal itu. Yang diperdebatkan: harga pembelian US$ 12,7 juta membesar menjadi US$ 1,1 miliar. Majalah Tempo menulis soal ini dalam cover story edisi 7 Juni 1994.

Dua hari kemudian, 9 Juni, ketika meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung, Soeharto marah besar dan menghujat pers yang dianggapnya mengadu domba menteri-menterinya. Akhirnya, pada 21 Juni, Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko mengumumkan pembredelan majalah Tempo, Detik, dan Editor.

Peran Habibie dalam pembredelan itu tidak jelas benar, paling kurang tidak sejelas niat baiknya menghidupkan lagi majalah Tempo. Dan, pada yang sudah wafat, biarlah kesan baik ini yang menjadikenangan.

Indonesia berkabung 11 September itu. Persis pada tanggal yang sama, Presiden Joko Widodo mengirim surat kepada Dewan Perwakilan Rakyat: pemerintah menyetujui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak orang yakin revisi ini akan mematikan komisi itu. Kata mematikan ini tidak berlebihan, bila disimak draf revisi yang segera disidangkan.

Draf itu mengatur KPK berubah menjadi lembaga pemerintah, bukan lagi lembaga independen. Pemimpin KPK adalah pejabat negara. KPK harus minta izin untuk melakukan penyadapan. Penyelidik KPK harus diangkat dari kepolisian, bukan lagi independen. KPK tidak lagi memeriksa laporan harta kekayaan pejabat publik. KPK tidak lagi punya prosedur khusus untuk memeriksa tersangka.

Sungguh aneh, "pelucutan" kewenangan KPK itu justru dilakukan ketika begitu banyak pejabat daerah dan pusat menjadi sasaran operasi tangkap tangan KPK. Bila revisi ini berjalan mulus, kita mesti siap-siap berkabung lagi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus