Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KEINGINAN Presiden Joko Widodo agar penegak hukum memberikan peringatan kepada pejabat yang berpotensi tersangkut rasuah amatlah janggal. Sikap ini tidak menggambarkan komitmen pemimpin yang ingin memerangi korupsi. Sistem peringatan akan mengundang kongkalikong yang justru menyuburkan kejahatan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden menyampaikan pernyataan itu di depan peserta Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 13 November lalu. Jokowi menegaskan pentingnya mengedepankan pencegahan daripada penindakan korupsi. Pencegahan yang dimaksud ialah menghentikan penangkapan para pejabat dan menggantinya dengan memberikan peringatan sebelum mereka melakukan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gagasan itu terlihat indah karena menghilangkan kegaduhan akibat penangkapan pejabat oleh penegak hukum. Kepala daerah pun tidak perlu digonta-ganti gara-gara kasus korupsi. Proyek pemerintah akan selalu berjalan lancar seperti di era Orde Baru. Saat itu, aktivis yang membongkar korupsi pejabat bahkan mudah dicap sebagai anti-pembangunan.
Masalahnya, sistem peringatan itu tidak akan menghapus korupsi sekaligus sulit diterapkan. Ambil contoh kasus Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin, yang ditangkap pada pertengahan Oktober lalu. Dzulmi diduga memerintahkan stafnya memungut duit dari kepala dinas buat menutupi biaya perjalanan ke Jepang. Bagaimana cara penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mencegahnya?
Petugas KPK bisa saja memberikan peringatan kepada Dzulmi. Tapi hal yang sama harus dilakukan kepada ribuan pejabat di Indonesia yang setiap saat bisa melakukan korupsi. Penyidik KPK tentu akan kewalahan. Cara itu juga mengasumsikan bahwa pejabat kita amatlah bodoh, tidak bisa membedakan antara perbuatan legal dan tidak. Padahal sudah banyak sekali contoh korupsi yang dibeberkan KPK lewat berbagai kasus penangkapan.
Cara pencegahan ala Jokowi justru menyebabkan korupsi beranak-pinak. Pemerintah pun telah mencoba pendekatan itu lewat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Instruksi ini kemudian diterjemahkan oleh Kejaksaan Agung dengan membentuk Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D). Tim ini bertugas mengawasi tender barang dan jasa.
Hasilnya? Penugasan jaksa malah menciptakan korupsi baru. Di Yogyakarta, misalnya, jaksa Eka Safitra ditangkap KPK pada Agustus lalu. Eka adalah anggota TP4D yang mengawasi proyek rehabilitasi drainase Kota Yogyakarta. Ia malah menerima suap untuk memuluskan sebuah perusahaan memenangi tender proyek tersebut.
KPK pun mengungkapkan keterlibatan tim kejaksaan mengawasi tender proyek menimbulkan banyak mudarat. Persekongkolan jaksa, pejabat, dan pengusaha malah terjadi di banyak daerah. Jangan heran jika kini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan berencana menghapus tim pengawal tender tersebut.
Presiden Jokowi semestinya menyadari bahwa fungsi utama lembaga penegak hukum adalah memberantas kejahatan. Fungsi pencegahan dan sosialisasi hukum hanyalah pelengkap. Khusus untuk korupsi, banyak sekali lembaga yang terlibat pencegahan, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta Badan Pemeriksa Keuangan. Di hampir setiap kementerian juga ada inspektorat jenderal yang memiliki fungsi serupa.
Siasat pencegahan hanyalah menggambarkan sikap pemerintah yang terkesan mulai berkompromi dengan korupsi. Sikap ini bakal menimbulkan petaka lantaran pejabat dan politikus akan makin berani bermain kotor dan menilap uang negara.
Catatan:
Ini merupakan artikel majalah tempo edisi 25 November- 01 Desember 2019