Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Berlikunya Perjalanan Ekonomi

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fauzi Ichsan

  • Vice President, Economist, Standard Chartered Bank

    DARI sudut ekonomi, tahun 2005 adalah tahun penuh bahaya. Tahun 2005 dimulai dengan optimisme, dengan suksesnya pemilihan umum dan besarnya bantuan luar negeri untuk merehabilitasi Aceh pasca-tsunami. Tapi, optimisme itu cepat pudar dengan melesatnya harga minyak dunia dan menguatnya kurs dolar AS di pasar valuta asing dunia. Semua nevgara pengimpor energi, dan yang memiliki utang luar negeri dalam dolar, harus menghadapi kenyataan pahit ini.

    Reaksi pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia (BI) awalnya dinilai lamban oleh pelaku pasar, yang temperamental perilakunya. Pada semester pertama 2005, BI dianggap lamban menaikkan suku bunga ketika suku bunga dunia, yang diprakarsai oleh bank sentral AS, sedang naik. Sementara itu, pemerintah dinilai tidak memiliki rencana konkret untuk membatasi subsidi bahan bakar minyak yang dapat membengkakkan defisit anggarannya.

    Alas, keprihatinan pelaku pasar memicu pelarian modal yang membuat kurs rupiah terpuruk dari Rp 9.000 ke Rp 12.000 per dolar dalam ”krisis mini” moneter pada Agustus. Menghadapi keadaan ini, barulah BI dan pemerintah mengambil kebijaksanaan yang konkret, walau tidak populer secara politis. Untuk melindungi rupiah, BI menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (tempo satu bulan) dari 7,42 persen pada awal 2005 ke 12,75 persen pada akhir tahun. Setelah melalui perdebatan sengit, untuk mengamankan anggarannya, pemerintah akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 126 persen pada Oktober.

    Pasar takjub atas ketegasan BI dan pemerintah. Rupiah menguat kembali ke arah Rp 10.000 per dolar. Tetapi tampaknya pemerintah telah ”menyepelekan” dampak kenaikan harga BBM yang terlalu tajam, yaitu melesatnya inflasi yang memperlemah daya beli masyarakat (penggerak 60 persen ekonomi nasional) serta meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Tingginya inflasi juga telah memaksa BI terus menaikkan suku bunga, yang ikut memukul sektor real ekonomi.

    Mulailah timbul kekhawatiran bahwa kenaikan harga BBM yang terlalu tinggi berdampak ekonomi negatif, yang lebih besar dari keuntungan anggaran pemerintah semata-mata. Pertumbuhan ekonomi pun merosot dan diperkirakan akan terus merosot pada semester pertama 2006. Sektor real kelihatan sekarat, walaupun sektor finansial (rupiah, pasar saham, dan pasar obligasi) selamat. Masalahnya, mayoritas rakyat Indonesia hidup di sektor real.

    Menghadapi realitas ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merombak tim ekonominya dengan menjadikan mantan Menteri Keuangan Boediono sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Pasar kembali takjub. Pasar telah merindukan Boediono, yang dianggap berhasil mengawal Indonesia keluar dari program IMF.

    Boediono dianggap bersih, mengerti pasar, mengerti ekonomi Indonesia, mengerti mesin pemerintahan, dan mampu bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Rupiah pun terus melesat ke Rp 9.700 per dolar. Tapi Boediono tidak bisa memulihkan sektor real dengan mudah. Yang bisa dilakukannya adalah menjaga stabilitas keuangan pemerintah, memperbaiki iklim investasi, dan memastikan bahwa tambahan dana pemerintah dari pengurangan subsidi BBM (sebesar Rp 50 triliun-80 triliun) dapat disuntikkan kembali ke perekonomian nasional melalui bantuan sosial, kenaikan gaji pegawai negeri, dan pembangunan infrastruktur pada tahun 2006.

    Untuk melakukan ini, Boediono dan tim ekonominya membutuhkan dua hal. Pertama, dukungan politik, terutama dari presiden. Kedua, dukungan mesin pemerintahan. Karena Presiden Yudhoyono telah mengambil risiko politik untuk “memperjuangkan” Boediono menjadi menteri, banyak analis memperkirakan ia akan melindungi Boediono dalam misinya. Sementara itu, permasalahan efektivitas kebijaksanaan pemerintah adalah masalah struktural, yang terbebani oleh otonomi daerah dan fakta bahwa pemerintah tidak memiliki dukungan mutlak di DPR. Karena itu, implementasi kebijaksanaan pemerintah diperkirakan akan terus lamban pada tahun 2006.

    Dengan asumsi pemerintah hanya mampu menggenjot pengeluaran pembangunannya pada semester dua, pertumbuhan ekonomi 2006 diperkirakan hanya sebesar 5,5 persen (vs target pemerintah 6,2 persen), atau sama dengan perkiraan pertumbuhan pada tahun 2005. Sektor usaha, terutama yang berhubungan langsung dengan daya beli masyarakat (otomotif, real estate, leasing, retail, dll.), diperkirakan akan melemah pada semester pertama.

    Tetapi, sektor usaha yang berhubungan dengan prasarana (konstruksi, semen, baja, dll) diperkirakan akan menguat pada semester kedua karena terbantu program pembangunan pemerintah. Inflasi berantai tahunan diperkirakan akan tetap di atas 15 persen sampai kuartal ketiga, dan hanya akan turun ke 8 persen pada akhir 2006 karena metode perhitungan. Akibat tingginya inflasi, suku bunga SBI diperkirakan akan memuncak di 13,75 persen pada semester pertama, sebelum turun ke 12 persen pada akhir 2006.

    Dengan membaiknya sentimen pasar dan aliran modal ke Indonesia, rupiah diperkirakan akan menguat terus ke Rp 9.500 pada akhir 2006. Karena suku bunga diperkirakan hanya akan turun pada semester dua, pasar saham dan obligasi diperkirakan menguat pada semester dua, dan ikut terbantu dengan mulai pulihnya sektor real. Bagi kebanyakan rakyat Indonesia, paruh pertama 2006 diperkirakan akan pahit, sebelum keadaan membaik pada paruh kedua.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus