Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG yang ekstrim biasanya menarik. Tapi orang moderat biasanya
yang mendekati kebenaran.
Guru filsafat itu mengucapkan itu dengan nada datar, lalu diam.
Para mahasiswanya menyeringai. Lelaki di depan ruang kuliah itu
memang tidak memikat. Tidak berapi-api. Hanya sedikit
menenteramkan. Terutama kalau seraya menerangkan satu bab
tentang epistemologi ia menyelingi suasana dengan petilan lagu
dari film Blue Angel.
Tapi cuma itu. Selebihnya pak guru filsafat layak dilupakan. Ia
suka humor tapi kurang sex.
Memang ada citra yang hambar tentang orang-orang yang yakin
kepada benarnya ucapan (dari seorang Nabi, lho) bahwa
"sebaik-baiknya perkara ialah yang tengah-tengah."
Ya, hambar. Orang-orang tanpa warna. Tidak tegas. Kompromistis.
Kurang punya greget buat memihak kepada salah satu kutub yang
sedang berkonfrontasi.
Di dalam masa yang membutuhkan hentakan kaki dan gemertak
geraham di suatu kurun yang panas dan suram hingga fikiran
lalu-lalang seperti petir berlistrik, moderatton sering dlanggap
banci. Dan "banci" adalah sesuatu yang menjijikkan, terutama
bagi mereka yang menyenangi kejantanan. Atau moderation dianggap
sebagai kelambanan khas intelektuil, yang selalu cukup untuk
dihina oleh mereka yang menyukai "aksi".
Masa seperti itu pernah ada beberapa ribu hari yang lalu. Di
sekitar gerakan protes kalangan pemuda Amerika, kata "radikal"
menjadi suatu cap yang gagah. Berkat publisitas yang luas,
karena hegemoni media massa Amerika, hampir seluruh cendekiawan
muda dunia mengenal pamor kata itu. Juga daya tarik dari
semangat "Kiri Baru".
Kalau tak percaya datanglah ke pelbagai seminar. Biasanya, dalam
semangat ini, Amerika Serikat sedemikian dikutuk sebagai "Setan
Dunia," hingga apa saja yang dekat denean Amerika dicap sebagai
"pion", atau "kompra dor", dan hingga apa saja yang memusuhi
Amerika (misalnya Hanoi atau Khmer Merah) dianggap sebagai
pahlawan. Ketidak-sukaan kepada Amerika itu juga menyangkut
sampai ke masalah gaya hidup yang memang tidak selalu sehat.
Hingga inilah semacam ciri baru cendekiawan yang berfikiran
progresif memuji-muji kesederhanaan hidup di RRT di bawah Mao
Tse-tung.
Tapi beberapa ribu hari kemudian lewatlah. Mao Tse-tung mangkat,
Hanoi menang, Khmer Merah berkuasa, dan seorang Presiden Amerika
yang dipilih dari udik berbicara tentang "hak-hak asasi
manusia." Di Afrika, tentara Kuba (dengan baret "Che" Guevara)
masuk. Pasukan asing. Di Uni Soviet sejumlah cendekiawan
dihukum. Di laut Asia Tenggara beratus-ratus orang-orang malang
lebih baik menyabung nyawa mengungsi dari Vietnam yang
"dibebaskan". Dan tentang Kamboja ....
Dengan cepat, banyak hal mendcsak untuk suatu renungan kembali.
Mereka yang dulu kagum ketika mendengar rakyat RRT menggempur
gunung tanpa pamrih materiil, kini perlu merumuskan sikap lagi
ketika tahu bahwa di Peking, pesawat TV berwarna laku terjual.
Mereka yang dulu bertepuk tangan untuk Khieu Samphan, kini harus
bertanya apa yang memberi hak Khmer Merah untuk membasmi begitu
banyak manusia dan mcmbungkam negeri Kamboja.
Tidakkah ini saat kembalinya moderatiol dalam sikap berfikir?
Pada saat kita menelaah kembali posisi, penilaian dan tinjauan
kita tentang hal-ihwal di dunia sekitar kita, pada saat itu kita
mau tidak mau surut sebentar dari pendirian yang tegas, jelas,
tidak di tengah-tengah.
Tapi rasanya itu bukanlah sikap yang hampa. Sebab jika ada yang
dipilih di situ, maka itu ialah pilihan yang dasar keberanian
untuk berfikir bebas.
Bukan sekedar berani menghadapi fikiran-fikiran lawan yang kita
anggap bebal, jika kita mau. Tapi berani menghadapi kesimpulan
kawan sefaham dan diri kita sendiri, yang biasanya kita anggap
pintar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo