Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKSA Agung Hendarman Supandji tidak punya pilihan lain. Kalau tak mau citra Kejaksaan Agung kian babak-belur, ia harus mencopot Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso dan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto. Menyimak fakta yang terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ulah pejabat kejaksaan tadi amat memalukan. ”Perselingkuhan” mereka dengan salah satu penikmat dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia—seperti terekam dalam telepon broker Artalyta Suryani yang disadap Komisi Pemberantasan Korupsi—sudah amat ”telanjang”.
Rekaman percakapan Artalyta dengan Untung Udji Santoso dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya mengesankan keduanya sudah sangat akrab dengan perempuan yang dipanggil Ayin ini. Cara Artalyta ”memerintah” Untung menelepon Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, beberapa saat setelah Komisi menangkap jaksa Urip, menunjukkan jaksa itu gampang ”diatur-atur”. Komentar Ayin memuji jaksa Kemas Yahya, seusai Kemas ”melapor” kepadanya bahwa Sjamsul Nursalim tak bersalah dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, mengesankan Ayin berada ”di atas” jaksa itu. Kemas sudah diberhentikan sesudah Urip ditangkap Komisi dengan barang bukti uang Rp 6 miliar pada 2 Maret silam.
Kecurigaan banyak orang tentang ”upeti” di balik penghentian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim tercium dari rekaman yang diperdengarkan di ruang sidang dua pekan lalu. Kuat diduga, ”upeti” ikut bicara dalam kasus yang disangka membuat negara tekor Rp 10 triliun itu. Tidak terlalu mengejutkan kalau ada yang bilang skenario ”penangkapan Artalyta” merupakan cara melindungi petinggi kejaksaan lain. Kesan itu muncul dari pembicaraan telepon antara jaksa Untung dan Ayin. Hanya pihak luar kejaksaan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang mungkin mengungkap kasus ini agar tidak berhenti sampai Ayin dan Urip saja.
Untung Udji Santoso dan Wisnu Subroto sudah tak layak menyandang status jaksa. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pemberhentian Jaksa, kesalahan dua petinggi kejaksaan tersebut terang-benderang. Tindakan yang dilakukan keduanya bisa dimasukkan kategori perbuatan tercela. Sanksinya jelas: diberhentikan dengan tidak hormat. Jaksa Agung Hendarman tidak boleh berkelit dari peraturan pemerintah tadi.
Sekalian, momentum ini hendaknya dipakai untuk membersihkan kejaksaan. Banyak pihak yang mulai lelah mengingatkan perlunya pembersihan ini, jadi Jaksa Agung diharapkan benar-benar membuka mata-telinga kali ini. Semua yang terlibat semestinya diganti dengan yang kredibel dan jujur—kalau masih ada ”jenis” ini.
Kalau tak ada ”stok” jaksa yang berkualitas, mekanisme rekrutmen mesti diubah. Perlu dibentuk tim seleksi dengan melibatkan pihak luar, seperti akademisi, pakar hukum, dan lembaga antikorupsi. Tim ini bertugas menyaring jaksa yang layak untuk jabatan penting di Kejaksaan Agung. Nama calon terpilih, berikut harta kekayaannya, perlu diumumkan lewat berbagai media. Masyarakat bisa ikut menilai dan memberikan masukan.
Membenahi kejaksaan adalah keharusan bagi Indonesia, yang bercita-cita menjadi negara hukum. Momentum demi momentum sudah terlepas dari tangan sekian Jaksa Agung sebelum ini. Sekarang kesempatan itu mampir di tangan Hendarman Supandji. Kalau ia melewatkan peluang emas itu, sebaiknya ia segera meminta berhenti. Presiden bisa memilih yang lebih mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo