Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang hari pencoblosan pemilihan kepala daerah serentak pada akhir Juni mendatang, wabah korupsi demi meraup dana kampanye ternyata tak kunjung surut. Pada Jumat pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap politikus Partai Demokrat, Amin Santono, ketika menerima suap Rp 400 juta, yang kabarnya akan dipakai untuk membiayai kampanye anaknya, calon Wakil Bupati Kuningan, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Modus korupsi yang dilakukan Amin sebenarnya tak orisinal. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu menjual janji surga: persetujuan Senayan terhadap anggaran dua proyek Dinas Perumahan dan Dinas Pekerjaan Umum di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang nilai totalnya di atas Rp 20 miliar. Untuk jasa itu, Amin meminta sogokan Rp 1,7 miliar. Padahal anggaran perubahan untuk proyek itu belum dibahas di DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Motif korupsi Amin pun tak baru. Publik sampai bosan mendengar berita tentang politikus yang merampok uang negara untuk kepentingan kampanye menjelang pemilu atau pilkada. Sepuluh tahun terakhir, rata-rata satu politikus ditangkap KPK setiap bulan. Sejak 2008, total sudah lebih dari 132 anggota DPR dan dewan perwakilan rakyat daerah dijebloskan ke penjara oleh KPK.
Walhasil, korelasi antara tingginya biaya politik pemilu maupun pilkada dan perilaku korup wakil rakyat sulit dibantah. Meski pada 2014 Mahkamah Konstitusi sudah mengurangi kewenangan DPR dalam pembahasan anggaran, penyakit para politikus di Senayan tak kunjung sembuh. Ancaman hukuman sampai 20 tahun penjara dan denda hingga miliaran rupiah tak membuat mereka jeri.
Karena itu, perlu dipikirkan solusi lain agar modus dan motif korupsi ala Amin Santono ini tak berulang terus. Upaya mengurangi biaya politik kandidat yang bertarung dalam pemilu dan pilkada harus terus dilakukan. Iklan kampanye, misalnya, kini sudah dibatasi oleh Komisi Pemilihan Umum. Metode pengerahan massa dan arak-arakan dalam kampanye pun sudah dilarang. Namun semua itu tampaknya belum cukup untuk mengurangi biaya kampanye para calon secara signifikan.
Komponen utama biaya kampanye yang kerap dikeluhkan politikus secara diam-diam adalah mahalnya harga suara setiap pemilih. Bentuknya bisa berupa "serangan fajar", pembagian bahan pokok, juga pembangunan sarana dan prasarana di daerah basis konstituen. Kandidat kerap jorjoran menghamburkan uang-secara legal maupun ilegal-untuk merebut hati pemilih.
Untuk membersihkan pilkada dari korupsi, pola relasi transaksional antara pemilih dan politikus harus diubah. Solusinya tentu bukan menghapus pemilihan langsung dan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Pelibatan warga secara lebih substansial dalam berbagai keputusan politik yang menyangkut hajat hidup mereka, termasuk dalam soal anggaran, bisa menjadi kunci untuk mengubah pola relasi itu.
Jika rakyat benar-benar berdaulat, politikus tak perlu repot-repot membeli suara untuk memenangi pilkada. Mereka yang benar-benar bekerja demi kepentingan publik akan didukung dengan sendirinya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo