Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa kericuhan berujung maut di pabrik pemurnian nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, adalah buah dari buruknya tata kelola ketenagakerjaan. Tak peduli ras ataupun kewarganegaraannya, buruh kerap menjadi tumbal dari ambisi negara yang haus investasi seperti Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pegawai PT GNI, masing-masing warga negara Indonesia dan Cina, tewas pada Sabtu, 14 Januari lalu. Malam itu, konflik kelas antara buruh dan manajemen perseroan setahun terakhir memuncak hingga memicu kerusuhan antar-pekerja berbeda kebangsaan. Petaka ini semestinya tak perlu terjadi seandainya pemerintah menjalankan perannya sebagai wasit yang baik di antara kepentingan investasi dan perburuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT GNI hanya satu di antara rombongan investor Cina yang beberapa tahun terakhir semakin gencar masuk ke Indonesia. Kementerian Investasi mencatat, sepanjang 2015-2022, realisasi penanaman modal langsung asal Cina mencapai US$ 26,96 miliar, atau senilai Rp 381 triliun jika dihitung dengan kurs tengah masing-masing tahun. Angka itu meningkat 15 kali lipat dibanding nilai investasi asal Cina pada dua periode pemerintahan sebelumnya. Sekitar 60 persen di antaranya digelontorkan ke sektor energi, terutama pertambangan.
Bagi Indonesia, investasi Cina itu penting untuk menggerakkan ekonomi. Tumbuhnya industri, terutama pengolahan hasil tambang, tak hanya membuka lapangan kerja baru, tapi juga meningkatkan nilai komoditas pertambangan. PT GNI, misalnya, tercatat mempekerjakan sedikitnya 11 ribu tenaga kerja Indonesia dan 1.300 tenaga kerja asal Cina. Diresmikan Presiden Joko Widodo pada akhir 2021, tiga unit smelter milik perseroan diproyeksikan memproduksi 13.650 ton feronikel dengan nominal ekspor mencapai US$ 23 juta atau senilai Rp 347 miliar per tahun.
Namun, di lapangan, urusan ekonomi tersebut pada praktiknya selalu memperhadapkan kepentingan pemilik modal dan pekerja. Investor akan selalu mencari keuntungan dengan mengoptimalkan produksi dan mengefisienkan biaya operasi. Di sisi lain, buruh juga mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja. Interaksi dua kepentingan inilah yang kerap melahirkan konflik perburuhan. Persoalannya bisa menjadi lebih rumit pada perusahaan-perusahaan penanaman modal asing, karena investasi yang datang juga kerap memboyong ribuan tenaga kerja asal negara investor.
Pada aspek-aspek itulah pemerintah gagal mengelola kebijakannya dengan baik. Karena lebih mementingkan investasi, pemerintah justru menutup mata terhadap berbagai masalah ketenagakerjaan. Sentimen publik juga kadung melihat bahwa pemerintah “membiarkan” ribuan tenaga kerja asing mengambil manfaat dari investasi.
Dalam kasus PT GNI, serikat pekerja sepanjang tahun lalu telah berulang kali melaporkan perseroan karena membuat kontrak tanpa batas waktu, memangkas upah pegawai tanpa alasan jelas, serta tak menyediakan sarana keselamatan kerja. Pada 22 Desember 2022, dua operator crane PT GNI tewas dalam kebakaran akibat ledakan tungku di smelter unit 1. Alih-alih menindak tegas, pemerintah pusat ataupun daerah membiarkan perusahaan terus bertingkah semena-mena.
Pemerintah harus segera memperbaiki buruknya tata kelola ketenagakerjaan ini secara menyeluruh. Jika tidak, bentrokan di Morowali Utara sangat mungkin bukanlah insiden terakhir yang akan memakan korban. Efek buruknya bisa merembet ke iklim investasi dan memukul ekonomi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo