Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak seharusnya membatasi peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus korupsi di sektor swasta. Dalam pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Dewan malah mau memasukkan pasal yang hanya memberi wewenang penyelidikan kasus korupsi swasta kepada kepolisian dan kejaksaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal itu rencananya mengatur masalah korupsi di sektor swasta yang tidak melibatkan penyelenggara negara. Korupsi yang dimaksudkan mencakup empat jenis tindak pidana, yakni menyuap, memperdagangkan pengaruh, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, dan menyuap pejabat asing atau organisasi internasional. Pasal ini dimaksudkan untuk melengkapi peraturan perundang-undangan antikorupsi sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC), yang sudah diratifikasi Indonesia pada 2006.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan berpandangan bahwa KPK tak bisa terlibat dalam penanganan kasus korupsi swasta semacam ini. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, menurut mereka, KPK hanya menangani korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Dengan demikian, bila KPK hendak menangani korupsi swasta, Undang-Undang KPK harus diubah terlebih dulu.
Rencana pembatasan kewenangan KPK ini salah kaprah. Anggota Dewan seharusnya ingat bahwa mereka sedang membahas rancangan KUHP. Seharusnya mereka hanya membahas pidana materiilnya, seperti pasal penjerat dan jenis hukumannya. Mereka tak perlu membahas pidana formilnya, seperti proses beracara dan lembaganya, karena hal itu diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana.
Sikap Dewan yang hendak mengecualikan KPK dalam penanganan korupsi swasta juga keliru. Lembaga antikorupsi di negara lain tak dibatasi seperti itu. Contohnya Komisi Antikorupsi Independen Hong Kong-yang menjadi salah satu model KPK-juga menangani korupsi swasta.
Dewan seharusnya justru mendukung KPK dalam menangani korupsi swasta. Selama ini kasus korupsi swasta sulit diadili karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dinilai tidak mengaturnya secara jelas. PT Giri Jaladhi Wana adalah korporasi swasta pertama yang berhasil dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Perusahaan itu diadili dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pengadilan Tinggi Banjarmasin akhirnya menjatuhkan pidana denda Rp 1,3 miliar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara perusahaan itu selama enam bulan pada 2011.
Namun kini sudah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan ini sudah mengatur secara rinci soal penanganan tindak pidana swasta, dari jenis-jenis tindakannya, termasuk korupsi, hingga cara menangani perusahaan yang bubar atau bergabung dengan perusahaan lain. Hal ini mempermudah KPK, polisi, dan jaksa dalam menangani kasus korupsi di perusahaan swasta. DPR seharusnya mendukung perkembangan positif ini, bukan malah membatasi peran KPK.