Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahasa Indonesia tak diciptakan dan direkayasa dari satu pusat. Tak pernah pula dari sebuah kekuasaan dalam Negara. Ia tumbuh—kita tak akan pernah tahu pasti kapan ia bermula—di tengah pasar yang sibuk, di madrasah-madrasah pinggir kota, di lorong-lorong istana dan traktat para sultan, di jemaah gereja di kota yang beragam seperti di Batavia abad ke-17. Ia diperkaya koran harian yang tak ditulis pujangga, berita olahraga dengan kalimat pendek, cerita silat Tionghoa, transliterasi kitab kuning, dan terjemahan Masmur. Juga puisi, propaganda politik progresif, dan akhir-akhir ini, jutaan iklan.
Tak mengherankan bila bahasa kita melintasi batas “daerah”—batas yang dibikin-bikin. Ia egaliter, melintasi kelas sosial. Ia tak dirawat lembaga terhormat seperti Academie Française, tak dibakukan institusi seperti Oxford Dictionary. Memang ada Badan Bahasa, tapi ini kantor yang tak jelas pengaruhnya.
Dengan kata lain, tiap saat bahasa Indonesia bergerak di antara yang vernakular dan bentuk-bentuk baku, antara idiom lisan dan gramatika tulisan. Bahkan dalam media sosial—sarana komunikasi yang kini makin a-sosial—bahasa privat dan akrab jadi bahasa publik.
Saya bayangkan betapa sulitnya orang dari masa Pujangga Baru mengikuti percakapan kini. Kadang-kadang ia dengar, dalam pembicaraan anak muda di Jakarta, kata “which is”, yang baginya tak berarti apa-apa. Di depan petugas bandara, ia akan bego ketika dihadapkan dengan permintaan: “Maaf, KTP-nya bisa dibantu?” Ia mungkin mengerti apa itu KTP, tapi tak jelas siapa dan apa yang “dibantu”. Belum lagi pergeseran arti dan ejaan. Di antara anak muda kini, kata “secara” berganti maknanya, dan kita tak tahu lagi apakah “emosi” itu kata benda atau kata sifat. Kata “dik”, singkatan dari “adik”, kini ditulis “dek”, yang bisa keliru dibaca seperti kita membaca kata “pendek”.
Ada seorang pemikir yang mengatakan manusia hidup dalam “rumah tahanan bahasa”, the prison-house of language. Di Indonesia kini mungkin lebih tepat kita disebut “hanyut dalam banjir bahasa”: sebuah arus yang tak jelas asal dan arahnya. Dalam hanyut itu kita menelan dan memuntahkan apa saja: sisa minyak pelumas dan cairan tinja, tetesan parfum dan air zamzam.
Mungkin kita harus siap hidup dengan khaos macam itu. Mungkin ini cerminan hidup kita dalam kekacauan lain, misalnya dalam hukum yang dirumuskan para legislator yang ngantuk. Kesalahpahaman terjadi tiap kali, dan itu agaknya beban yang harus kita tanggungkan, juga di tengah suasana saling curiga dan “pasca-kebenaran”.
Apa yang akan menyelamatkan kita dari percakapan yang hanya silang selisih itu?
Agaknya diam. Atau sejenis diam: interval tanpa kata di antara arus yang butek dan ke sana-kemari itu.
Tak berarti kita tak lagi hendak saling menyapa.
Konon ada sebuah adat istiadat Mandailing yang bisa jadi tauladan: sebuah “arketaip pantun” dalam bentuk nonverbal. Anak-anak muda Mandailing menghantar bungkusan ranting-ranting, daun-daun, dan bunga sebagai simbol atau kiasan untuk maksud yang hendak disampaikan kepada kekasih mereka. Biasanya maksud ini dicapai melalui rima bunyi nama dalam bahasa lokal untuk daun atau ranting yang dihantar itu.
Tampak, sebenarnya sifat nonverbal itu tak mutlak. Benda-benda itu dihadirkan karena namanya, dan nama itu terkait dengan bagaimana ia diucapkan, dengan bunyi, dalam bahasa. Dengan kata lain, bahasa masih membayangi benda-benda itu. Tapi pada saat yang sama tampak bahwa yang verbal bertaut dengan sesuatu yang—meskipun tak dibentuk dalam kata-kata—punya daya yang menghidupkan ekspresi.
Mungkin itulah yang dimaksud Walter Benjamin (seperti biasa, dengan rumit) sebagai “bahasa benda-benda”, die Sprache der Dinge. “Bahasa” ini, terutama yang tampak dalam patung dan lukisan, adalah bahasa yang “tanpa nama, non-akustik, tanpa suara, bahasa yang muncul dari materi”.
Mungkin itu pula yang kita temukan dalam ranting, kembang, dan hal-hal lain yang dipersembahkan pemuda Mandailing kepada gadis pujaannya. Dan kita pun ingat akan sebuah masa, ketika nama, untuk benda dan manusia, dianggap punya kekuatan “magis”, ketika alam bicara dalam kebisuan.
Kebisuan itu yang kini disingkirkan—dan hanya digantikan apa yang disebut Benjamin sebagai “kebisuan yang lain”, kebisuan kedua, ketika benda-benda di zaman ini diringkus jadi komoditas: hal-ihwal yang ada untuk diperjualbelikan untuk dikonsumsi. Kita sebenarnya terasing dari mereka, seperti ketika teman yang semula kekasih hanya dijadikan obyek, tanpa rasa, tanpa kemesraan.
Kita lupa bahwa dalam dan dengan bahasa, manusia yang bukan makhluk yang sendirian menolak “kebisuan kedua”. Ia menolak justru karena di dalam bahasa yang semula, ada kebisuan yang mengundang keikutsertaan orang lain.
Bahasa ibarat sebuah roda. Kata-kata jari-jarinya, dan di antara jari-jari itu ada ruang kosong yang meringankan tubuh roda hingga lancar berputar. Ruang kosong itu—tiadanya kata-kata—punya daya tersendiri: makna percakapan yang tak ditentukan siapa pun, oleh kamus atau lembaga.
Kini soalnya, bagaimana kita menebusnya.
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo