Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBACA tulisan "Santunan Astek Milik Siapa?" (TEMPO, 21 November 1992, Hukum), kesan pertama saya adalah rasa kasihan pada Mariana, yang setelah kematian suaminya menjadi tergugat di pengadilan. Bak kata pepatah, sudah jatuh ditimpa tangga pula. Soalnya, Pengadilan Agama Lhokseumawe memutuskan: santunan Astek yang berjumlah Rp 71 juta harus dibagi secara Hukum Waris Islam kepada penggugat, yakni mertuanya sendiri. Dapat dimaklumi, dalam masalah ini, memang agak rumit untuk mengambil suatu kesimpulan. Keputusan pengadilan itu, menurut Hakim Ketua Ismail Ali, diambil dengan pertimbangan yang matang, walaupun dasarnya adalah penafsiran. Keputusan itu dibenarkan oleh para pakar hukum Islam, antara lain Tengku Muslim Ibrahim, dosen IAIN Banda Aceh, dan Ichtijanto, dosen hukum Islam pada Fakultas Hukum UI Jakarta. Pihak lain yang tak setuju dengan keputusan Pengadilan Agama Lhokseumawe itu antara lain Departemen Tenaga Kerja, PT Astek, dan Prof. Sudikno Mertokusumo, ahli hukum perdata dari UGM Yogyakarta. Pendapat mereka itu tidak diabaikan. Kedua pendapat tersebut bertolak dari dua dasar yang berbeda, yang satu berdasarkan hukum waris Islam, dan yang lain dari hukum perdata dan Peraturan Asuransi Tenaga Kerja. Kedua pendapat ini benar, tapi bila itu dilihat dari sudut pandang masingmasing. Meskipun si tergugat mengajukan banding pada pengadilan tinggi agama, diduga pada tingkat banding itu ia akan kalah kembali. Soalnya, pengadilan tinggi agama akan mempertimbangkannya berdasarkan hukum waris Islam. Namun, ada satu kemungkinan bagi tergugat untuk bisa memenangkan perkara ini, yakni bila disidangkan pada pengadilan negeri, yang berdasarkan hukum perdata negara. Soalnya kini, apakah perkara tersebut bisa dibawa ke pengadilan negeri. Dalam hal ini ada dua alternatif yang dapat dijadikan pertimbangan bagi tergugat. Yang pertama berdasarkan materi yang menjadi perkara, yakni Asuransi Tenaga Kerja -- suatu produk hukum masa kini yang diciptakan berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Negara. Karena itu, masalah Astek tentu tidak ada dalam hukum Islam, sebagaimana yang dinyatakan Ismail Ali. Sehingga ia menggunakan penafsiran yang banyak dipengaruhi subjektivitas. Jadi, lebih tepat perkara itu disidangkan di pengadilan negeri. Selanjutnya, berdasarkan bukti tertulis, yakni Polis Asuransi Tenaga Kerja. Dalam polis, biasanya dicantumkan ahli waris penerima santunan lengkap dengan rincian nama penerimanya. Polis tersebut mungkin dapat disamakan dengan "surat waris" yang sah, karena dibuat oleh almarhum sebelum meninggal di atas meterai dan disaksikan oleh pejabat PT Astek. Mungkin pula Polis tersebut sudah disahkan oleh notaris yang ditunjuk PT Astek sendiri, sehingga di pengadilan mana pun akan diterima. Nama dan alamat ada pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo