Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adakah yang bisa dikatakan dengan diam? Film-bisu menjawab: ada. Banyak yang bisa dikatakan tanpa kata. Tapi tak hanya film-bisu yang menegaskan itu.
Adegan pertama film The Artist: seorang tahanan yang disiksa agar dia buka suara, tapi tetap menolak. Di layar tertulis kata-kata: "Aku tak mau bicara! Tak sepatah kata pun!" Dan ia pingsan.
Dalam pingsan dan membisu itu ada cerita panjang tentang diam, makna dan nilainya—dan saya kira itu metafora pertama sutradara Michel Hazanavicius dalam filmnya ini, yang menyentuh kita di beberapa lapisan.
Yang menyentuh dari film ini bukan cuma tali halus percintaan (atau persahabatan) yang tak pernah diverbalkan di antara dua orang yang berbeda nasib di zaman perubahan Hollywood, ketika film-bisu tengah tergusur dari industri budaya.
Sentuhan The Artist bisa lebih dalam: ia menghadirkan nostalgia.
Masa silam yang dikenang manis itu digambarkan sebagai Hollywood tahun 1920-an: kita lihat sebuah teater yang rapi dan gemerlap. Kita tahu, nostalgia adalah pementasan kembali yang diperindah dari sebuah arsip ingatan yang separuh hilang. Siapa menyadari ini akan tahu betapa rapuhnya sejarah.
Hazanavicius menyajikan The Artist bukan untuk mengatakan bahwa arsip masa lalunya "benar". Filmnya bukan satu rekonstruksi yang realistis dari masa itu; ia tak seperti yang dibangun Richard Attenborough dalam Gandhi, misalnya. The Artist tak akan menyebut diri sebuah "film sejarah". Ia menirukan dengan asyik sebuah film-bisu yang tak pernah ada: set, kostum, dan gerak di dalamnya adalah kutipan dari kehidupan yang hanya ada dalam layar putih.
Dengan kata lain, inilah permainan ilusi tentang ilusi, dan kita disentuh untuk ingat bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang solid: waktu berlalu, membuat sesuatu yang baru, tapi yang baru itu akan punah. Tiap usaha mengawetkannya (atau sebaliknya: menghilangkannya) akan sia-sia; sebab yang terjadi hanya sebuah transformasi yang ditentukan oleh subyek yang di sini, di masa kini. Satu adegan The Artist: George Valentin (diperankan dengan bagus sekali oleh Jean Dujardin) mencoba membakar ril-ril film lamanya. Tapi ada satu ril yang didekapnya.
Lalu ia pingsan. Ia tak berdaya mengelola masa lalu.
Hanya anjingnya yang setia sepanjang masa, Uggie, yang akhirnya menyelamatkannya dari api. Si Uggie adalah kegigihan; ia tak merasa terdesak oleh zaman. Sejak dulu ia tak bersandar pada kata.
Dan memang kata tak diperlukan selama adegan dramatis itu. Bukan saja Uggie yang menggunakan tubuhnya untuk menyampaikan pesan. Juga Peppy Miller, ketika perempuan muda ini memeluk Valentin setelah ia siuman. Adegan yang mengharukan ini dibawakan dengan lembut oleh Bérénice Bejo, sebagai gadis yang memuja dan merasa berutang budi kepada Valentin, juga setelah ia jadi bintang film-bicara (talkies) yang menggusur kemasyhuran sang aktor film-bisu.
Dengan adegan seperti itu, film-bisu tidak hanya jadi bentuk, tapi juga jadi metafor: The Artist adalah isyarat bahwa banyak yang bisa dikatakan dengan diam, meskipun kebisuan tak bisa bertahan.
Sebab bukan maksud Hazanavicius untuk menghidupkan kembali yang telah mati sejak 1927, ketika The Jazz Singer, film pertama yang menggunakan dialog, jadi awal sukses. Mungkin ia hendak menawarkan perspektif yang lebih kaya ketimbang yang dicapai Mel Brooks.
Dalam Silent Movie (1976), Brooks berhasil menghidupkan humor kembali tanpa kata—sebuah seni tinggi yang dicapai Charlie Chaplin. Ia kembali mengutip slapstick dari film-film Laurel & Hardy dan yang "akrobatik" dalam vaudeville Broadway. Semuanya gerak tubuh. Kata yang diucapkan hanya "Non", yang terdengar lewat telepon justru dari aktor besar pantomim, Marcel Marceau. Efeknya sebuah ironi yang tak terduga: kata itu keluar dari mulut seseorang yang biasanya tak butuh kata.
Yang menarik, Non itu terdengar keras, tapi ia datang sebagai sebuah bunyi asing yang makna sebenarnya tak dipahami.
Atau lebih tepat: pura-pura tak dipahami, karena Non itu bukan kabar baik. Ia satu penolakan yang tegas terhadap dunia kebisuan yang hendak dilanjutkan para tokoh Silent Movie. Dalam The Artist hal itu juga terjadi. Meskipun lebih dramatis ketimbang kocak. Di satu adegan, Valentin melihat sehelai bulu burung melayang jatuh; begitu menyentuh bumi, terdengar ledakan gemuruh. Walhasil, bunyi itu sebuah negasi juga—sebuah suara bantahan yang menakutkan Valentin.
Dalam sejarah film, memang suara semula dianggap semacam negasi terhadap narasi. Mutu mikrofon buruk, dan para aktor harus bergerak tak jauh dari alat itu. Kesal terhadap gangguan ini, Thomas Edison kembali membuat film-bisu. Di sana gambar tetap dominan, karena teknik kamera sudah lebih maju.
Dalam The Artist Valentin juga mengira suara dalam film-bicara tak punya masa depan: "Orang datang ke bioskop untuk melihat saya, bukan mendengarkan saya."
Tentu saja ia salah. Sejak mula, orang tak hanya ingin melihat gambar. Film-bisu juga butuh intertitles, teks yang menampilkan cerita dan percakapan. Juga terkadang perlu juru cerita dalam bioskop, yang di Jepang disebut benshi, buat menjelaskan cerita dan mewakili dialog para peran. Valentin tampaknya lupa, inti sebuah film bukanlah potret, melainkan gerak. Gerak, itulah "gambar hidup".
Dengan kata lain, yang visual tak pernah sendirian. Ia bagian dari hidup, karena ia tak mandek. Dan hidup selalu membentuk dan dibentuk percakapan.
Tapi sia-siakah film-bisu, sebagaimana diingatkan oleh The Artist? Tidak. Dalam kesedihan Valentin kita tahu, hidup tak cuma suara kata-kata. Dalam bahasa, di tiap saat, yang diam, yang bisu, selalu menunggu.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo