Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Presiden Joko Widodo membentuk Komando Operasi Khusus dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) guna menangani terorisme adalah kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi dan bertentangan dengan undang-undang. Kewenangan menangani kejahatan itu seharusnya tetap berada di tangan kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak pihak, termasuk media ini, sedari awal menolak pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Namun upaya itu tetap dilakukan pemerintah. Pada mulanya, Undang-Undang Terorisme diubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyisipkan pasal tentang peran TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengabaikan berbagai protes, Jokowi melanjutkan dengan menerbitkan peraturan untuk membentuk Komando Operasi Khusus sebagaimana disyaratkan undang-undang baru. Komando ini merupakan kesatuan yang beranggotakan prajurit pasukan khusus dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, yang dipimpin seorang komandan yang bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI.
Kebijakan Presiden ini mengacaukan pembagian peran antara TNI dan kepolisian. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan jelas menyatakan bahwa terorisme adalah kejahatan pidana sehingga harus ditangani dengan hukum pidana, yang merupakan kewenangan kepolisian. TNI dilibatkan bila teror mengancam kedaulatan negara.
Dalam konteks ini, peraturan presiden itu jadi bermasalah. Ayat 1 Pasal 46B dalam peraturan itu menyatakan bahwa pembentukan komando ini bertujuan mendukung tugas pokok TNI. Tugas pokok yang mana? Undang-Undang TNI dengan jelas mengatur bahwa tugas pokok militer adalah berperang dan menjalankan 14 tugas selain perang, dari mengatasi gerakan separatis bersenjata hingga membantu mengamankan pelayaran dan penerbangan dari pembajakan. Adapun Pasal 14 Undang-Undang Kepolisian mengatur bahwa polisilah yang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk terorisme.
Pelibatan TNI dapat memicu benturan antara TNI dan Kepolisian RI karena peraturan baru itu tak merincinya. Bisa-bisa kedua lembaga berebut dalam menangani suatu perkara terorisme hanya agar bendera lembaganya berkibar atau penanganan perkara menjadi ajang kenaikan pangkat. Lebih buruk lagi bila benturan itu pecah menjadi konflik fisik. Kita tentu tak mengharapkan hal ini terjadi.
Detasemen Khusus Antiteror Kepolisian RI, yang selama ini aktif menangani terorisme, adalah pasukan elite mumpuni yang didukung personel yang unggul dan peralatan yang canggih. Bila kinerja mereka selama ini masih dianggap kurang, yang diperlukan adalah meningkatkan kemampuan personel dan lembaganya, bukan menyerahkan penanganan terorisme ke lembaga lain.
Memberi kewenangan besar kepada militer untuk menangani terorisme juga bertentangan dengan supremasi sipil yang telah kita perjuangkan sejak reformasi 1998. Langkah Jokowi untuk mengundang kembali militer ke ranah publik sama saja dengan membawa negeri ini kembali ke zaman Orde Baru ketika militer campur tangan di semua bidang kehidupan masyarakat. Presiden harus segera mencabut peraturan mengenai pembentukan Komando Operasi Khusus karena jelas peraturan itu akan menimbulkan lebih banyak masalah pada kemudian hari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo