Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemberontakan narapidana terorisme di rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Depok, Jawa Barat, membuat kita berduka sekaligus bertanya-tanya: bagaimana bisa kerusuhan terjadi di dalam penjara yang terletak di jantung Brigade Mobil (Brimob), pasukan elite Kepolisian RI? Sebanyak 155 tahanan bahkan sempat menguasai area selama 36 jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Polisi menyebut kejadian yang merenggut nyawa lima personelnya itu berawal dari kesalahpahaman. Seorang narapidana bernama Wawan menagih makanan dari keluarganya yang dititipkan kepada seorang petugas jaga. Tapi, ketika titipan itu ditelusuri, petugas yang dimaksud sedang berada di luar rumah tahanan sehingga barang tak ditemukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Wawan lalu membuat keributan yang memancing terpidana lain menjebol terali. Setelah itu, mereka menyerang penjaga dan merebut senjata. Apa pun sebabnya, ini menunjukkan ada yang bolong dalam prosedur pengamanan sel di Markas Komando Brimob. Pertama, lemahnya pengawasan penjara. Kedua, kegagapan mengambil tindakan setelah meletus kerusuhan.
Setelah menyerang petugas, narapidana menyiarkan teror lewat media sosial. Penggunaan telepon seluler yang tersambung ke Internet oleh narapidana di dalam penjara ini aneh. Sudah jelas dalam aturan bahwa tahanan tak boleh memiliki alat komunikasi.
Polisi pun tak mengantisipasi kemungkinan narapidana menyiarkan teror itu ke dunia luar, misalnya dengan segera memasang pengacak sinyal. Akibatnya, pesan kekerasan itu menyebar luas seperti keinginan para narapidana. Berikutnya, kerusuhan tak lekas padam. Polisi perlu waktu sekitar 36 jam sampai mengeluarkan ultimatum agar narapidana "menyerah atau menghadapi risiko serbuan"-seperti yang disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
Sejak awal, polisi tampak berusaha menutup-nutupi kejadian. Kelima penjaga telah tewas pada Rabu dinihari, tapi polisi baru mengumumkannya secara resmi pada Rabu sore sekitar pukul 16.00 WIB. Polisi mengklaim situasi masih terkendali. Padahal kenyataannya narapidana menguasai penjara dan menyandera seorang penjaga. Sikap polisi yang tak transparan malah bisa memantik tersebarnya kabar palsu.
Ironisnya, kerusuhan terjadi pada saat Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian sedang melawat ke Yordania untuk memamerkan "kesuksesan" Indonesia dalam memberantas terorisme. Padahal, di dalam negeri, penanganannya masih jauh dari ideal. Contohnya seperti yang terjadi di Markas Komando Brimob.
Sudah saatnya penanganan terorisme dan deradikalisasi dievaluasi. Selama ini Detasemen Khusus 88 Antiteror dinilai bergerak tanpa kontrol. Akibatnya, antara lain, muncul sejumlah laporan dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh mereka.
Revisi Undang-Undang Terorisme yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat bisa menjadi pintu masuk untuk menyempurnakan tatakan hukumnya. Tapi penanganan kasus terorisme harus tetap dalam koridor penegakan hukum-dengan meletakkan tentara dalam tugas perbantuan seperti saat ini, bukan sebagai ujung tombak pemberantasan terorisme.