Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para dai, ustad, dan tokoh-tokoh agama Islam kini saatnya memanfaatkan Ramadan untuk menangkal paham radikal, benih teroris yang menghantui negeri ini. Berpuasa selama sebulan penuh, yang lazimnya ditandai dengan peningkatan kualitas beribadah di kalangan muslim, alangkah afdalnya bila dijadikan sebagai kampanye untuk kembali ke ajaran Islam yang benar. Ceramah-ceramah agama di masjid dan di media massa perlu dikemas agar lebih mengedepankan pesan harmoni dan saling menghormati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyampaikan nasihat bahwa meneror atau menakut-nakuti orang lain merupakan perbuatan dosa tidak ada salahnya diulang-ulang. Supaya semakin meyakinkan, penceramah bisa memaparkan contoh perilaku Nabi Muhammad atau mengutip ayat Al-Quran, yang mengajarkan pentingnya menjalin persaudaraan. Islam tegas melarang kekerasan, perlu dibuktikan dalil-dalil dari kitab ini yang menunjukkan haramnya menjadi teroris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi terorisme yang dipicu paham radikal kembali pecah menjelang Ramadan lalu. Aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya dan penyerangan markas polisi dilakukan oleh mereka yang memang beridentitas muslim. Dari pelacakan oleh kepolisian, ditemukan adanya relasi mereka dengan ISIS, gerakan teroris di Timur Tengah yang menjadi musuh banyak negara.
Akibat perbuatan mereka, Islam dicap sebagai agama teror dan umatnya dinilai menyukai jalan kekerasan dalam menyebarkan agama. Hal ini jelas membebani umat Islam secara keseluruhan.
Pada bulan suci ini dibutuhkan kekompakan dalam mengemas siar kebaikan. Tak hanya di masjid, musala, dan tempat ibadah di perkantoran. Ajakan kembali ke ajaran Islam yang benar juga mesti diikuti pengelola media massa, terutama media penyiaran. Stasiun televisi yang berlomba menayangkan rupa-rupa acara Ramadan biasanya memunculkan penceramah keagamaan dari berbagai latar belakang. Produser acara tak perlu ragu bila hendak mencoret penceramah yang mengobarkan paham radikal.
Mengidentifikasi penceramah yang mengobarkan paham radikal amat gampang. Di antaranya, mereka terdeteksi gemar menyuntikkan paradigma tentang jihad, pahala, dan surga yang ditafsirkan secara keliru. Mereka seenaknya menganggap kelompok sendiri yang paling benar, sedangkan yang lain salah, sesat, dan kafir. Ciri lainnya adalah mereka punya "hobi" menggelorakan permusuhan kepada negara dan sesama muslim serta anti-keberagaman. Karena itu, stasiun televisi mesti selektif dalam menampilkan penceramah.
Begitu pula pengurus masjid, sebaiknya mencantumkan daftar nama para ustad yang diundang menjadi penceramah. Hanya dai penebar pesan damai dan menghargai perbedaan yang layak dipilih untuk tampil memberikan siraman rohani. Ceramah agama dengan mengedepankan toleransi dan menolak paham radikal sangat mungkin dilanjutkan pada bulan-bulan setelah Ramadan.