Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Suryana Sudrajat
Rasanya belum pernah terdengar seorang ustadz atau kiai mengatakan ini:
”Ibu-ibu pasti tidak mau dimadu ’kan? Ayo, siapa yang rela suaminya kawin lagi? Karena itu, Bu, jangan salah pilih nanti, ya? Pilihlah bapak kita ini…. Sebab, kalau Pak Haji ini jadi gubernur, poligami akan dilarang. Setuju? Akur kan? Cocok kan kalau suami dilarang beristri lebih dari satu? Pasti gubernur bisa bikin peraturannya.” Sejurus kiai setengah itu mengambil napas di tengah antusiasme jemaah majelis taklim yang sebagian besarnya memang kaum ibu. ”Tapi, na’udzu billah min dzalik, kalau ada ulama atau umara yang berani melarang poligami, berarti murtad. Murtad karena melawan hukum dan peraturan Allah dan rasul-Nya.”
Peristiwa itu berlangsung di sebuah pesantren di Tangerang, yang waktu itu lagi heboh dengan Peraturan Daerah pelacuran, pada acara peringatan Maulid sekaligus sosialisasi bakal calon Gubernur Banten. Sa-yang, upayanya untuk mempengaruhi calon pemilih dengan iming-iming ”perda pelarangan poligami” ber-akhir anti-klimaks, bahkan dengan ancaman ”fatwa” murtad alias keluar dari Islam. Kalau saja ustadz kita itu mau membela hak-hak perempuan, bisa saja dia mengatakan: ”Mari kita usulkan kepada gubernur baru nanti agar mengeluarkan perda tentang pelarang-an poligami.”
Tapi tidak. Pak Kiai rupanya berpegang pada surat An-Nisa ayat 3, yang sering dijadikan landasan pembenaran bagi kebolehan berpoligami: ”… maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi, dua, tiga atau empat….”
Syahdan, awal 1937, pemerintah Hindia Belanda meng-edarkan rancangan ”Ordonantie Perkawinan Tercatat” untuk mengetahui reaksi kalangan Islam sebelum rencana tersebut dibawa ke Volksraad. Isinya, antara lain, mengenai larangan poligami, kewajiban perceraian melalui keputus-an hakim, dan sokongan kepada perempuan yang dicerai dan anak-anaknya. Ordonansi ini memang tidak dimaksudkan untuk penduduk pada umumnya, tapi hanya bagi orang Indonesia yang sukarela tunduk pada ordonansi tersebut. -Arti-nya, tidak ada keharusan bagi seseorang untuk mencatatkan pernikahannya di kantor catatan sipil.
Tapi rancangan ini kemudian mendapat tantangan keras, terutama dari kalangan Islam. Yang menolak rancangan itu, yang oleh beberapa kalangan dinilai akan memper-baiki kedudukan wanita, antara lain Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia, Barisan Penya-dar Partai Syarikat Islam pimpinan H. Agus Salim, H. Abdul Karim Amrullah dan ulama-ulama Minangkabau lainnya, dan banyak lagi. Pidato-pidato dan tulisan-tulisan yang mengecam rencana tersebut baru reda setelah kongres Ma-jelis ’Alaa Islam Indonesia (MIAI).
Dalam kongresnya yang pertama pada 1938 di Surabaya, MIAI memang membahas sebuah artikel yang ditulis oleh Siti Sumandari di majalah Bangun yang diterbitkan oleh Partai Indonesia Raya (Parindra). Tulisan itu dimaksudkan untuk membela rancangan undang-undang perkawinan, tetapi di dalamnya terdapat kata-kata yang menghina Nabi dan menyerang peraturan perkawinan Islam.
Kongres menuntut agar pemerintah mengambil tindakan terhadap penulis bersangkutan dan penulis mana pun yang berbuat demikian. Sumandari dan Suroto, suami Sumandari dan editor majalah Bangun, akhirnya meminta maaf. Mereka mengaku tidak tahu tentang Islam. Sutomo, pemimpin Parindra, yang juga menjadi sasaran kemarahan kaum muslimin atas sokongannya terhadap tulisan itu, juga minta maaf secara terbuka. Sastrohutomo, ayah Sumandari, minta maaf untuk anaknya. Sedangkan Suroto di-berhentikan dari pekerjaannya.
Kongres Perempuan Indonesia pun, seperti yang dianjurkan Maria Ulfah, salah seorang panitia kongres, tidak mengambil keputusan mengenai masalah yang sensitif ini, walaupun ia sendiri menyetujui rancangan tersebut. Maria Ulfah mengatakan: ”Jika Belanda betul-betul ber-niat baik, maka ia dapat saja mengumumkan berlakunya ordonansi tersebut tanpa konsultasi-konsultasi segala. Apakah mungkin Belanda sengaja melemparkan gagasan ini untuk diputuskan oleh kaum wanita Indonesia, dengan perhitungan bahwa akan terjadi perpecahan di kalangan kaum pergerakan wanita yang berarti memperlemah perjuangan kemerdekaan?”
Akhirnya, rancangan ”Ordonantie Perkawinan Tercatat” yang akan diajukan pemerintah Hindia Belanda terkubur sebelum sampai ke Volksraad. G.F. Pijper, advisieur Kantoor voor Inlandschezaken, mencatat bahwa penolakan kalang-an Islam terhadap ordonansi perkawinan itu sebagai ”bukti kekuatan Islam”. Harry J. Benda mengatakan bahwa selama tiga dasawarsa, baru kali itulah Islam Indonesia berhasil mendemonstrasikan kekuatannya.
Pada tahun belasan sampai awal 1920-an belum m-uncul pandangan yang mempertentangkan paham kebangsaan (nasionalisme) dengan Islam. Baru setelah itu muncul orang-orang yang mempropagandakan nasionalisme yang seakan berlawanan dengan Islam, dan cukup berhasil. Mereka di antaranya adalah Soekarno, Iskak, dan Sutomo—yang terakhir masih disertai nasionalisme Jawa. Karena itu, pada 1925, Tjokroaminoto terpaksa menjelaskan bahwa ”Islam sepertujuh bahagian rambut pun tak menghalang dan merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia.” Toh, berbagai kejadian pada waktu itu tambah mempertajam konflik antara Islam dan ke-bangsaan.
Maka, tak urung, ada yang memandang berbagai perdebatan mengenai perkawinan, khususnya tentang poli-gami dan perceraian, sebagai debat antara dua kubu, yakni antara aliran Islam dan aliran kebangsaan, yang pada 1920-an dan 1930-an diartikan bermacam-macam, seperti chauvinism, anti-Islam, dan netral agama.
Pandangan polaristis ini masih membagi lagi aliran Islam ke dalam aliran kolot dan aliran modern. Aliran kolot mengenai perkawinan ini antara lain terdapat dalam sebuah risalah: Kewajiban atas Perempuan Islam bagi Suaminya, karangan Mahyidin Mukti, guru agama di Singkil (Aceh), yang diterbitkan di Bukittinggi pada 1936, dan Perkawinan Islam oleh Haji Aji M. Noer Ali alias HAMNA, terbitan Teluk Kuantan. Sedangkan aliran yang (agak) modern dapat dibaca antara lain dalam buku Suami Istri keluaran Balai Pustaka 1924, karangan A. Latief. Pe-nulis buku ini pada 1924 sudah menolak perceraian yang mudah dan poligami karena nafsu berahi itu tak terbatas. Haji Agus Salim dimasukkan dalam golongan ini.
H. Agus Salim dalam tulisannya ”Perempuan dalam Islam” memang membela R.A. Kartini yang dituduh anti-Islam sehubungan dengan serangannya terhadap Islam yang mendukung poligami. Dia mengakui bahwa pengetahuan agama Islam ”marhumah putri Jawa yang mulia itu” tidak memadai, tapi itu tidak berarti bahwa ia membuat tuli terhadap agama Islam. Ajaran Islam yang diberikan oleh para kiai waktu itu memang seperti yang dituliskan Kartini, dan dalam prakteknya keutamaan perempuan di dalam ajaran Islam belum diungkap.
Membawa persoalan perkawinan, lebih-lebih mengenai poligami, dalam debat antara dua kubu, Islam dan nasionalis, boleh jadi akan membawa kita kepada kesimpulan yang menyesatkan: kalangan Islam propoligami; kaum nasionalis antipoligami atau promonogami. Dalam kenyataannya, pa-ra pemimpin Islam, terutama kalangan Masyumi, umumnya adalah monogam, sementara pemimpin nasionalis, terlebih nasionalis-Jawa, tidak sedikit yang poligam. Bahkan kampiun nasionalis seperti Soekarno adalah boleh dikatakan ”raja poligam”.
Tapi benarkah jika pemegang kuasa atau ulul umari melarang poligami serta-merta bisa dianggap murtad?
Pada 1955, M. Hasbi Ash-Shiddieqy menulis risalah Polygami menurut Hukum Islam. Guru besar hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga ini mengatakan bahwa poligami bukan suatu hukum yang tetap, tetapi dapat berganti-ganti: dari boleh ke makruh, dan dari makruh kepada haram. Dan ulul amri, sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, kata Hasbi, harus menentukan hukum poligami sesuai dengan keadaan m-asanya.
Karena itu pula, menurut pemuka- ”fikih Indonesia” ini, tuntutan-tuntut-an dari sebagian masyarakat yang menghendaki supaya poligami dilarang tidak dapat dikatakan menentang agama, karena mereka menuntut itu atas dasar kerusakan-kerusakan yang mereka alami dalam masyarakat. ”Sekiranya kita analisakan bencana-bencana yang timbul dari poligami bangunlah bulu kuduk daripada-nya…. Dari karena itu, tepatlah kalau dikatakan poligami itu suatu perbuatan yang pada asal-asalnya makruh, sebaik-baiknya mubah, yang berpindah kepada haram. … Apabila telah nyata bahwa masyarakat telah menyimpang jauh dari syarat-syarat yang diperlukan untuk poligami dan telah mempergunakan poligami jalan memenuhi hawa nafsu, bolehlah ulul amri melarang perbuatan tersebut untuk waktu yang tertentu,” tulis Hasbi.
Apakah bencana-bencana yang ditimbulkan poligami se-karang bikin bulu kuduk berdiri sebagaimana dilihat Hasbi pada 1955? Jika ya, dan kita berpedoman pada pandang-an Hasbi, maka pemerintah harus melarang praktek yang, ironisnya, oleh kalangan Islam tertentu sering dinyatakan ”islami” ini. Kebijakan pemerintah Republik Indonesia, se-perti dicerminkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, amat jelas menganut kebolehan poligami. Maka, dari perspektif fikih Hasbi, upaya perlindungan pemerintah kolonial terhadap kaum perempuan rasanya sudah lebih maju ketimbang pemerintah R-epublik Indonesia yang membolehkan permaduan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo