Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perekonomian nasional tampaknya sudah mulai kembali ke jalur semula setelah pengumuman hasil pemilihan umum dan perayaan Idul Fitri. Indeks keyakinan konsumen pada Mei 2019 meningkat dibanding bulan sebelumnya. Indikator makroekonomi lainnya juga terkendali. Inflasi Ramadan (Mei) yang relatif tinggi dan akan berimbas pada inflasi Idul Fitri (Juni) yang tinggi pula menjadi siklus rutin yang tidak akan meleset dari target 3,5 persen sampai akhir tahun. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga relatif stabil, meski pertumbuhan ekonomi stagnan di seputar 5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Merespons kondisi ini, Bank Indonesia (BI) memilih sikap konservatif alih-alih memangkas suku bunga acuan, sebagaimana sinyal yang dipancarkan sebelumnya. Rapat Dewan Gubernur BI periode Juni menahan suku bunga acuan pada posisi 6 persen, yang sudah bertahan selama delapan bulan.
Faktor eksternal tampaknya menjadi alasan kuat BI untuk berhati-hati. Perang dagang antara Amerika dan Cina, juga negara lain, telah menurunkan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi sejumlah negara. Akibatnya, kinerja ekspor Indonesia bisa ikut tertekan.
Pelebaran defisit neraca transaksi berjalan berkaitan pula dengan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri. Peningkatan ini rutin terjadi musiman pada kuartal kedua setiap tahun. Maka akan ada peningkatan permintaan valuta asing dalam jumlah substansial yang berpotensi menguras cadangan devisa.
Dengan tetap menahan suku bunga acuan, pasar keuangan domestik memiliki daya saing guna menarik arus modal asing masuk. Momentumnya pun tepat, yakni pada saat negara-negara lain menurunkan suku bunga acuannya. Aliran dana asing yang masuk diharapkan bisa menutup defisit neraca transaksi berjalan untuk menyelamatkan neraca pembayaran.
Di sisi lain, BI mengkompensasi suku bunga acuan yang tidak berubah dengan merelaksasi giro wajib minimum (GWM). GWM diturunkan 50 basis poin menjadi 6 persen untuk bank umum dan 4,5 persen untuk bank syariah dengan rata-rata tetap 3 persen. Kebijakan ini akan menambah likuiditas perbankan hingga Rp 25 triliun. Ini sekaligus dilakukan untuk mengoreksi efek samping dari operasi pasar terbuka.
Dalam skenario BI, tambahan likuiditas perbankan sekitar Rp 25 triliun akan mendorong pertumbuhan kredit pada kisaran 12-13 persen sepanjang tahun ini. Konsumsi masyarakat lapis bawah akan terdongkrak. Biaya produksi barang ekspor untuk daya saing pada perdagangan internasional lebih tinggi.
Pada gilirannya, upaya ini akan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2 persen sampai akhir tahun. Dengan demikian, misi pertumbuhan ekonomi di tengah potensi pelemahan ekonomi global bisa dimitigasi.
Sampai pada poin ini, BI berupaya membagi tugas antara suku bunga acuan dan GWM dalam format simbiosis mutualisme. Kebijakan moneter lewat suku bunga acuan bertujuan untuk menangkal tantangan eksternal. Sementara itu, kebijakan non-moneter, terutama makroprudensial, difokuskan untuk mengakomodasi perekonomian domestik.
Peranan kebijakan makroprudensial dalam mendukung tujuan kebijakan moneter secara empiris mendapatkan justifikasi. Warjiyo dan Juhro (2018) menunjukkan, meskipun suku bunga acuan pada 2018 terus naik, pada kenyataannya, suku bunga kredit perbankan rata-rata justru mengalami penurunan.
Lagi pula, GWM dan aturan rasio intermediasi makroprudensial bagi industri perbankan akan mulai berlaku per 1 Juli 2019. Jika pemotongan suku bunga acuan dilakukan bulan ini, berpotensi overdosis. Likuiditas pasar keuangan akan dibanjiri dana yang mengundang praktik spekulasi yang berujung lagi pada fluktuasi nilai tukar rupiah.
Dengan alur logika ini pula, realisasi atas sinyal pemangkasan kebijakan suku bunga acuan yang sebelumnya dipancarkan BI agaknya hanya tinggal persoalan waktu. Dalam kalkulasi BI, pemilihan momentum ini sangat penting agar dampak pemangkasan suku bunga acuan bisa optimal.
Persoalannya kini agak berbeda. Mengambil kasus Rapat Dewan Gubernur periode Juni, suku bunga acuan bank sentral Amerika, The Fed, sehari sebelumnya diketahui BI tidak beranjak dari posisi sebelumnya. Artinya, tidak ada tekanan mendesak bagi BI untuk segera memangkas suku bunga acuannya.
Tantangan berat ke depan adalah BI dihadapkan pada derajat ketidakpastian yang lebih besar. Sekarang, bola ada di tangan BI. Rapat Dewan Gubernur BI dua periode berikutnya digelar pada 17-18 Juli dan 21-22 Agustus, mendahului pertemuan The Federal Open Market Committee pada 30-31 Juli dan 17-18 September.
Artinya, BI harus mengambil keputusan dengan keterbatasan informasi. Jika pada Juli atau Agustus BI tetap menahan suku bunga acuannya sementara Amerika memangkas suku bunganya, dampaknya akan positif. Sebaliknya, jika BI lebih dulu memangkas suku bunga sementara Amerika menahannya, kekhawatiran akan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan, penipisan cadangan devisa, dan fluktuasi nilai tukar bakal terjadi.