Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NENEK berumur 63 tahun itu keluar dari apartemennya di jalan lingkar Moskow. Di radio ia dengar Gorbachev dinyatakan tak lagi memerintah, sebuah "Komite Negara untuk Keadaan Darurat" dibentuk, dan pers serta radio diberangus. Di kejauhan suara iringan tank bergerak. Empat di antaranya berpusar garang di luar Gedung Teater Bolshoi: satu isyarat apa artinya kekuatan dan kekuasaan. "Ini situasi yang mengerikan," kata Nenek Margarita Selvova, sebagaimana dikutip wartawan The New York Times 19 Agustus 1991. "Ini terjadi pada tahun 1917 ketika kaum Bolsyewik mengambilalih kekuasaan. Pada tahun 1937, paman dan bapakku ditembak, ibuku ditahan. Kini itu terjadi lagi...." Tahun 1991 ternyata kemudian lain dari tahun 1917. Komplotan yang menggulingkan Gorbachev dan membentuk Gosudarstvenny Komitet terjungkal hanya dalam waktu 72 jam. Namun, kita tahu mengapa takut Margarita Selvova. Hari-hari Oktober 1917 adalah hari-hari Revolusi yang bingung. Delapan bulan sebelumnya kekuasaan maharaja Rusia terakhir, Tsar Nikholas II, runtuh. Pemerintah Sementara dibentuk. Pemimpinnya seorang tokoh partai buruh, Kerensky. Penyangga utamanya pelbagai jenis kaum revolusioner, tapi bukan kaum komunis. Kaum Bolsyewik itu praktis masih berada di pinggiran. Namun, Rusia rusuh. Seperti sering terjadi dalam suasana pascarevolusi, ketika pergantian besar berlangsung dan tata tertib yang lama baru saja ambruk tanpa pengganti yang kukuh, kekacauan pun berkecamuk. Dalam keadaan itulah kaum Bolsyewik menyiapkan sebuah "revolusi" baru. Yang terjadi sebenarnya hanya sebuah kudeta. Namun, kata "hanya" di sini harus diberi catatan: aksi itulah, di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky, yang akhirnya berhasil mengubah Rusia hingga hari ini. Menjelang akhir Oktober 1917, kaum Bolsyewik telah merebut kekuasaan di Kota Petrogard, menduduki Istana Musim Dingin, menahan para menteri Pemerintahan Sementara, dan menyepak Kerensky. Namun, di luar kemenangan yang agak kacau itu, siapa sebenarnya yang mendukung mereka? Kebanyakan anggota garnisun Petrogard netral: tak mendeking pemerintah, tapi tak pula memihak Bolsyewik. Lenin hanya punya beberapa kesatuan, misalnya Resimen Kexholm, dan para pelaut Kronshtadt, yang mendukungnya dengan keras. Kaum proletar umumnya tak sepenuh hati berdiri di belakangnya. Bahkan, Vikzhel, serikat buruh kereta api yang kuat itu, menentangnya. Ketika Duma (parlemen) Kota Petrogard bersidang pagi 27 Oktober, dua wakil Bolsyewik yang hadir diteriaki oleh golongan revolusioner lain: "Pembunuh! Pemerkosa! Keluar!" Kelebihan Lenin ialah bahwa ia tak gentar dan tak malu karena diteriaki. Dalam pekan itu pula, dengan sekali babat ia menghabisi kebebasan pers dan mengontrol informasi. Kemudian ia membentuk polisi rahasia, cikal bakal KGB yang kita kenal kini. Ia tak peduli bahwa dengan demikian ia membunuh cita-cita panjang kaum revolusioner Rusia, juga tuntutan kaum Bolsyewik sendiri, bahwa kemerdekaan penting, setelah berpuluh tahun rakyat hidup dengan suara yang diringkus Tsar. "Lenin, Trotsky, dan teman-temannya telah kena racun kekuasaan, dan ini dibuktikan dengan sikap mereka yang memalukan terhadap kebebasan bersuara...." Itu adalah kata-kata kecewa Maxim Gorky, di koran Novaya Zhizn (Hidup Baru) 7 November 1917. Sastrawan Marxis ini, yang menyumbangkan honor tulisannya untuk partai Lenin, akhirnya menolak Lenin, yang ia sebut sebagai "budak dogma" yang "tak tahu massa rakyat", karena "ia tak pernah tinggal bersama mereka ..." "Saya terutama curiga, terutama tak percaya, kepada seorang Rusia ketika ia dapat kekuasaan di tangan," kata Gorky pula. "Belum lama sebelumnya jadi budak, ia jadi despot yang tak terkendali begitu ia sempat jadi tuan bagi tetangganya." Benarkah demikian? Di masa tuanya, ketika ia disanjung dan diberi posisi tinggi oleh Stalin, sikap Gorky sendiri jadi tak jelas tentang kemerdekaan bersuara dan hak demokrasi lain. Mungkin akhirnya ia menyerah, bahwa rakyat Rusia memang budak, raby, bukan pekerja, rabochye: kebebasan bukanlah kebutuhan mereka. Kebebasan bisa menjadikan mereka sewenang-wenang, "despot yang tak terkendali". Namun, betapa muramnya pandangan itu. Ia mengabaikan kemungkinan bahwa budak bukanlah sebuah watak, melainkan nasib. Ia mengabaikan hasrat lain orang yang tertindas. Ia akan melupakan apa arti rasa cemas Nenek Salvova: rasa cemas yang menyebabkan rakyat bergerak. Rasa cemas yang mendorong orang menyusun barikade di Gedung Parlemen, ketika tank-tank menderu. Rasa cemas yang sebenarnya naluriah, berkecamuk tapi tak tampak, sudah lama. "Rusia adalah sebuah badai," kata Penyair Alexander Blok di tahun 1917, "sebuah burya -- dan dari topan Siberia ini demokrasi dilahirkan." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo