Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mitigasi Kelaparan Berulang di Papua

Kelaparan yang terjadi berulang di Papua menunjukkan cadangan pangan yang belum tahan guncangan. Harus berbasis pangan lokal.

31 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bencana kelaparan telah berulang kali terjadi di Papua.

  • Ini mengindikasikan sistem yang ada belum mampu memitigasi bencana tersebut.

  • Masyarakat Papua harus membangun sistem pangan berbasis pangan lokal.

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan dan penulis buku Ironi Negeri Beras

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah berencana membuka lumbung pangan di wilayah Papua Tengah. Hal itu dilakukan untuk mengatasi masalah kelaparan di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, dan Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, yang terjadi pada Juli lalu. Masalah ini terus berulang. Dalam dua dekade otonomi khusus di Papua, setidaknya terjadi enam kasus kelaparan yang merenggut ratusan korban jiwa, yakni pada 2003, 2005, 2015, 2022, dan 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelaparan berulang ini mengindikasikan sistem yang ada belum mampu memitigasi dan mengantisipasi jatuhnya korban. Banyak analisis yang bisa dikemukakan. Dari sisi tata kelola pemerintahan, tata kelola anggarannya masih bermasalah. Ini tampak dari banyaknya kasus hukum yang menjerat elite pemerintahan setempat. Anggaran triliunan tak mengalir untuk program-program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat. Sebaliknya, sirkulasi anggaran berputar-putar untuk kepentingan segelintir elite. Hal ini membuat pendampingan bagi masyarakat di perdesaan juga tidak optimal.

Kelaparan berulang juga mengindikasikan sistem pangan setempat yang rapuh. Sistem pangan seperti ini tidak siap menghadapi guncangan, seperti kekeringan berkepanjangan yang membuat tanaman yang diusahakan masyarakat, seperti ubi dan keladi, mati. Cuaca ekstrem berupa kekeringan dan suhu dingin ekstrem membuat embun beku yang mematikan turun. Mobilisasi bantuan makanan ke wilayah ketinggian ini juga tidak mudah. Selain transportasi yang sulit karena infrastruktur tak memadai, mobilisasi sering kali terhambat gangguan keamanan karena ulah kelompok kriminal bersenjata.

Berpijak pada hal ini, wilayah-wilayah pegunungan di Papua, seperti dua distrik di Puncak itu, tidak pada tempatnya menggantungkan pangan dari luar. Sebagai gantinya, ketahanan pangan masyarakat harus dibangun dan diperkuat dengan cara berdaulat dengan pangan lokal. Hampir di setiap wilayah di Papua ada sistem pangan hasil kearifan lokal yang spesifik. Salah satu yang kasat mata adalah pangan pokok (staple food) masyarakat yang berbeda antara satu wilayah dan wilayah lain. Ini kemudian membentuk pola pangan yang unik, khas, dan beragam.

Sistem pangan di Papua, demikian pula pola pangannya, adalah hasil dialektika masyarakat sebagai bentuk adaptasi dengan kondisi lingkungan, baik itu iklim, cuaca, kondisi geografis, maupun ekologi setempat. Sistem pangan dan pola pangan unik, khas, dan beragam itu diwariskan secara turun-temurun serta mampu menjamin kedaulatan pangan masyarakat. Masalahnya, dunia terus berubah, demikian pula perilaku iklim dan cuaca. Sistem pangan yang semula bisa menjamin kedaulatan pangan masyarakat itu kini tidak lagi pejal guncangan.

Selama ini, warga Papua menjadikan kebun sebagai cara menyimpan pangan atau menjadikannya sebagai cadangan pangan. Aneka umbi-umbian dan sayuran dirawat sepanjang tahun dan akan dipanen serta dikonsumsi sehari-hari. Mereka tidak kenal panen per musim dan menyimpannya setelah panen. Ketika kebun gagal panen karena cuaca ekstrem, ancaman kelaparan mengintai.

Agar masyarakat memiliki resiliensi, diperlukan beberapa langkah. Pertama, masyarakat perlu menjalankan praktik bertani campuran. Ketika ubi dan keladi gagal panen, masyarakat bisa mengandalkan pisang, misalnya. Kala El Nino hebat terjadi pada 1997, warga Yali, Papua, masih punya 21 jenis pangan lokal yang bertahan dan bisa menjadi cadangan saat krisis (Boissiere, 2002).

Kedua, selain cadangan pangan di kebun, masyarakat harus memiliki cadangan pangan di lumbung desa, misalnya. Sebagai bantalan kala terjadi gagal panen, cadangan pangan jadi keniscayaan. Undang-Undang Pangan mengatur cadangan pangan pada tiga level: cadangan nasional, yang jadi urusan pemerintah pusat; cadangan pangan daerah (provinsi, kabupaten, dan kota); serta cadangan masyarakat desa. Sebagai bagian adaptasi dan memastikan resiliensi terhadap guncangan, cadangan pangan daerah dan desa idealnya diisi dengan pangan lokal. Di Papua, cadangannya bisa berupa tepung berbasis sagu, pisang, atau ubi.

Agar masyarakat desa memiliki cadangan pangan (lokal) yang kuat, pendampingan jadi keniscayaan. Masyarakat yang mayoritas bertani harus diyakinkan bahwa cara-cara bertani pada masa lalu, termasuk menyimpan pangan di kebun, tidak menjamin resiliensi. Masyarakat harus diajari bertani sesuai dengan perilaku iklim dan cuaca. Caranya, masyarakat dipersenjatai dengan ilmu membaca iklim dan cuaca yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk pola tanam. Perlu kerja-kerja intens, tak kenal lelah, dan berkesinambungan agar hal ini terwujud.

Masyarakat juga harus diyakinkan bahwa pangan yang diintroduksi dari luar, seperti beras dan aneka pangan berbasis terigu, bukan jawaban atas masalah pangannya. Pandangan bahwa pangan lokal, seperti sagu dan ubi, inferior ketimbang beras dan terigu harus dibuang jauh-jauh. Selama ini ada persepsi kuat bahwa beras adalah makanan pejabat dan orang terkemuka. Makan beras berarti status sosialnya naik. Sebaliknya, sagu dan umbi-umbian dicitrakan sebagai makanan orang miskin serta makanan ternak. Ini persepsi yang salah dan keliru.

Kalori beras (360 kalori per 100 gram beras) memang lebih tinggi dari ubi jalar (123 kalori per 100 gram ubi). Tapi ubi jalar unggul pada kandungan vitamin A (7.000 miligram per 100 gram ubi), vitamin C (22 miligram per 100 gram ubi), dan mineral Ca (30 miligram per 100 gram ubi) yang tidak ada pada beras. Tingkat produksi padi hanya 3-5 ton gabah per hektare (4 bulan), sementara ubi jalar bisa 30-50 ton per hektare (6-8 bulan). Budi daya ubi jalar dan sagu, selain tidak serumit padi, tak banyak memerlukan asupan luar.

Langkah-langkah ini perlu dibarengi komitmen kuat pemerintah daerah untuk membangun cadangan pangan berbasis pangan lokal. Pada saat yang sama, pemerintah di tingkat pusat harus menghentikan berbagai kebijakan yang paradoks terhadap pengembangan pangan lokal. Bahwa beras menjadi program utama pemerintah pusat semestinya tidak harus meminggirkan pangan lokal Papua, seperti sagu dan ubi. Demikian pula aneka program jaminan sosial, seperti Program Sembako, seharusnya diberikan berbasis pangan lokal. Bila langkah ini dilakukan simultan, ada optimisme bahwa kelaparan berulang bisa dicegah.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khudori

Khudori

Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan penulis buku Bulog dan Politik Perberasan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus