Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap intoleransi kembali muncul. Atas nama agama dan dengan dalih bisa merusak akidah agama Islam, Forum Muslim Bogor (FMB) menerbitkan pernyataan larangan perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor. FMB tidak hanya menyerukan agar Pemerintah Kota Bogor tidak memfasilitasi perayaan itu, tapi juga menyatakan bahwa mendukung perayaan Cap Go Meh sama saja mengakui eksistensi budaya komunitas Tionghoayang berarti mengakui juga agama mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor dengan tegas mengecam pernyataan FMB karena dianggap sepihak dan bersikap membahayakan kerukunan beragama. Bahkan MUI Kota Bogor mempersilakan siapa saja melaporkan pernyataan FMB yang dinilai sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian. Surat pernyataan FMB yang diedarkan per 23 Januari 2019 tersebut dianggap bisa mengoyak kerukunan beragama di Kota Bogor.
Di Indonesia, sikap intoleransi seperti yang diperlihatkan FMB sebetulnya bukan hal baru. Sebelum FMB, di berbagai daerah tidak sekali-dua kali sikap intoleransi juga muncul. Pada tahun lalu, misalnya, ritual sedekah laut, yang biasanya digelar masyarakat sekitar pantai di Kabupaten Bantul, terpaksa batal karena dibubarkan secara paksa oleh sekelompok orang dengan dalih ritual itu dinilai syirik dan tidak sesuai dengan ajaran agama.
Di luar apa yang terjadi di Bogor dan Bantul, tentu masih banyak contoh yang menggambarkan betapa virus sikap intoleransi telah merasuk ke berbagai komunitas. Semua itu memperlihatkan bahwa perlakuan intoleransi kita terhadap kelompok liyan (the other) sering terjadi, bahkan dalam skala yang semakin lama cenderung semakin masif. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan sikap intoleransi ini cenderung semakin marak.
Pertama, kekeliruan memahami berbagai ritual budaya, seperti Cap Go Meh atau sedekah laut, sebagai bagian dari warisan budaya, tapi melihatnya sebagai bagian dari tradisi dan representasi keyakinan kelompok liyan yang dapat mengancam eksistensi agama Islam. Pernyataan FMB yang mengkhawatirkan pengucapan selamat merayakan Cap Go Meh atau tindakan pemerintah yang bersedia memfasilitasi festival Cap Go Meh akan dapat mengancam akidah agama Islam, jelas sikap yang terlalu menyederhanakan masalah. Bahkan kekhawatiran yang berlebihan.
Kedua, perkembangan syak wasangka dan kekeliruan menyikapi perbedaan budaya dan kehadiran kelompok yang berbeda ini identik dengan ancaman bagi eksistensi kelompok dominan. Sikap yang terlalu reaktif terhadap kelompok yang berbeda ini justru sering membuat kita sebagai bangsa rentan dan memicu konflik terbuka karena kita tidak terlatih menerima perbedaan sebagai keniscayaan.
Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa potensi konflik horizontal di Tanah Air ini menjadi sangat sensitif untuk meledak ketika masyarakat belum dan tidak terbiasa menghadapi perbedaan demi perbedaan. Alih-alih menerima perbedaan sebagai modal sosial positif, pada kenyataannya, yang terjadi adalah perbedaan budaya kelompok lain justru sering dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi kelompok dominan.
Ketiga, kekeliruan memandang keberagamaan dan perbedaan bukan sebagai bagian dari investasi sosial yang fungsional untuk dikembangkan bagi pembangunan daerah dan masyarakat lokal, tapi justru sebagai ancaman atau gangguan.
Banyak studi telah membuktikan bahwa yang namanya intoleransi adalah embrio dari sikap radikal yang berpotensi merusak kerukunan dan persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang beragam, membiarkan sikap intoleransi makin subur berkembang tentu akan berisiko membawa bangsa ini ke dalam situasi yang dilematis, bahkan berpotensi terlibat dalam konflik internal yang berkepanjangan.
Sikap intoleransi adalah benih buruk yang dapat membawa bangsa ini ke arah yang keliru. Pengalaman bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia sebetulnya telah banyak mengajarkan bahwa syak wasangka dan intoleransi adalah bibit yang berpotensi mengancam integrasi sosial. Alih-alih belajar menghargai perbedaan dan bersikap toleran terhadap perbedaan, sikap intoleran umumnya akan tumbuh subur ketika kita terbiasa menolak kehadiran kelompok yang berbeda.
Mun’im Sirry (2018), dosen teologi asal Indonesia yang kini mengajar di Universitas Notre Dame, menyatakan perlunya kita beragama dengan rileks. Artinya, kekhawatiran bahwa menoleransi ritual budaya atau agama lain akan dapat mengancam moralitas dan keagamaan kita sebetulnya sikap yang terlalu kaku, bersyak wasangka, dan kekhawatiran yang tidak perlu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo