Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Capres

Deretan kursi tertata rapi di halaman belakang rumah Romo Imam. Saya kira ada acara yang penting. Barangkali Romo akan mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Ketika dugaan itu saya sampaikan, Romo langsung terbahak-bahak. "Ini cuma arisan. Memangnya saya Rizal Ramli," katanya.

10 Maret 2018 | 06.35 WIB

Selebaran himbauan "Indonesia Bersatu" bergambar capres Joko Widodo dan capres Prabowo Subianto ditempel di salah satu sudut kawasan Senen, Jakarta, 20 Juli 2014. ANTARA/Fanny Octavianus
Perbesar
Selebaran himbauan "Indonesia Bersatu" bergambar capres Joko Widodo dan capres Prabowo Subianto ditempel di salah satu sudut kawasan Senen, Jakarta, 20 Juli 2014. ANTARA/Fanny Octavianus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Deretan kursi tertata rapi di halaman belakang rumah Romo Imam. Saya kira ada acara yang penting. Barangkali Romo akan mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Ketika dugaan itu saya sampaikan, Romo langsung terbahak-bahak. "Ini cuma arisan. Memangnya saya Rizal Ramli," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Saya ikut tertawa. "Memang Rizal Ramli salah?" tanya saya. Romo langsung jadi serius. "Tidak ada yang salah. Hak setiap warga untuk mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Haknya pula untuk menyebutkan bahwa dia siap memimpin Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih makmur. Tapi, leluhur kita sering berujar, kalau mau bikin baju, cobalah ukur di badan sendiri. Apakah baju itu tidak kebesaran. Kalau mau jadi capres, apa sudah ada partai yang mengusung. Calon presiden itu tak dimungkinkan lewat jalur perseorangan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya hendak menanggapi, tapi Romo lebih dulu melanjutkan. "Namun, yang positif, Rizal Ramli berani mengajukan dirinya. Yang lain cuma melirik calon wakil presiden, itu pun dengan malu-malu," kata Romo. "Sebut misalnya Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Dia memberikan kriteria kepada Jokowi syarat untuk calon wakil presiden, yaitu dari kalangan santri, usia muda, memimpin partai besar. Semua syarat mengarah ke dirinya. Kenapa tak sebut saja yang paling memenuhi syarat itu adalah dirinya?"

Saya memotong: "Bagaimana dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar?" Romo menjawab. "Cak Imin lebih percaya diri. Dia langsung yakin Jokowi bakal menerima dirinya sebagai calon wakil presiden. Saking percaya diri, dia pun main ancam. Kalau Jokowi menolaknya, dia akan lari ke kubu lawan, kubu Prabowo. Cak Imin lalu mengutip bunyi iklan minuman, siapa pun presidennya, yang penting wakilnya dia, ha-ha..." Romo tertawa.

Saya ikut tertawa. "Presiden dan wakil presiden kok dicari dengan gampangan. Lalu apa fungsi partai politik kalau tidak menciptakan kader yang bisa ditampilkan memimpin bangsa ini?" Romo tampak gusar. "Partai politik gagal memunculkan tokoh. Jokowi melenggang sendiri. Ada Prabowo di seberang Jokowi, tapi itu mengulang Pemilu 2014, tak akan seru. Bagaimana kalau tiba-tiba Prabowo dijadikan wakil presiden oleh Jokowi dan Prabowo menerimanya? Akan ada calon tunggal karena tak ada stok calon presiden, stoknya cuma calon wakil presiden."

"Itu mustahil, Romo," kata saya. Romo tertawa kecil. "Politik itu tak terduga. Siapa tahu Prabowo masih tergiur kekuasaan. Mengalahkan Jokowi sepertinya sulit, ya, kenapa tak jadi wakilnya saja? Itu lebih realistis, syukur kalau lima tahun lagi sang wakil naik kelas," kata Romo.

Saya tak yakin akan ada duet Jokowi-Prabowo. Seperti yang dikatakan Fadli Zon, saya percaya Prabowo bakal tetap diusung Gerindra. Dia siap bertarung dan siap juga kalau kalah. Tapi, kalau duet Jokowi-Prabowo terjadi, Pemilu 2019 memang akan lebih adem karena tak ada lawan seimbang. Ini sesungguhnya tragedi dalam politik di Indonesia, begitu miskinnya kita dengan calon presiden. Banyak orang hebat tapi tidak berpartai dan berjarak dengan pimpinan partai. Sementara partai sangat feodalis dan sarat nepotisme.

"Bagaimana dengan partai baru, Romo?" Romo Imam kaget dengan pertanyaan saya yang tiba-tiba. "Tak menjanjikan apa pun. Ada yang cuma mimpi mengembalikan apa yang mereka sebut kejayaan masa lalu," kata Romo. "Memang ada partai anak-anak muda yang berkoar-koar mau memperbaiki sistem politik yang dikatakan buruk. Tapi langkahnya justru mendukung kekuasaan, padahal saat inilah sistem politik itu buruk. Simpati orang pun jadi hilang." PUTU SETIA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus