Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI krisis ekonomi masa lalu, krisis ekonomi Indonesia dewasa ini terjadi karena terlalu lama kita hidup di atas kemampuan sendiri, lebih besar pasak daripada tiang. Penyebabnya adalah Indonesia terus-menerus membelanjakan defisit anggaran belanja negara dan defisit neraca pembayaran luar negerinya dengan bantuan serta pinjaman luar negeri. Setelah reformasi, persyaratan pinjaman luar negeri makin berat dengan jangka waktu pembayaran kembali yang lebih singkat dan tingkat suku bunga yang makin mahal. Keadaan makin parah jika pemerintah tidak tahu apa yang dilakukan dan hanya mengomel pada keadaan eksternal yang tidak bisa dipengaruhinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ekonomi Indonesia yang memerlukan perhatian itu sudah dipantau Morgan Stanley Bank sejak 2013. Bank itu memasukkan Indonesia ke kelompok negara goyah, The Fragile Five, (bersama Turki, Afrika Selatan, India, dan Brasil) karena buruknya kondisi keuangan negara serta neraca pembayaran luar negerinya sehingga rawan terhadap gejolak perekonomian dunia. Tapi pemerintah selalu mengatakan fundamen ekonomi Indonesia tetap kokoh sebagaimana tecermin dari indikator ekonomi makro: pertumbuhan rata-rata 5 persen setahun, rendahnya tingkat laju inflasi, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang di bawah ambang batas, serta industri perbankan yang relatif sehat. Namun, sebagaimana kita alami pada 1997, kenaikan tingkat suku bunga dan pelemahan kurs rupiah membuat bank, dunia usaha, dan pemerintah tidak mampu melunasi kewajiban luar negerinya sehingga semuanya roboh bagaikan rumah kartu. Dalam publikasi terakhirnya, Goldman Sachs menyebut kondisi eksternal ekonomi Indonesia sebagai yang terparah di antara lima negara Asia (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan India).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua jenis obat
MENURUT jangka waktunya, ada dua jenis tindakan untuk mengatasi keadaan ekonomi yang mengkhawatirkan itu, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Dua-duanya juga diabaikan pemerintah. Seperti halnya pasien yang mengalami demam panas mendekati 40 derajat Celsius, satu-satunya cara menurunkan temperaturnya adalah menyuntiknya dengan antibiotik dosis tinggi karena obat penurun panas instan tidak lagi mempan. Antibiotik itu bisa berupa kontrol devisa, setidaknya memaksa devisa hasil ekspor disimpan beberapa lama di dalam negeri dan tidak terus ditransfer ke Singapura atau Hong Kong.
Setelah panas mereda, baru diambil tindakan jangka panjang: meningkatkan penerimaan pajak dan memupuk tabungan dalam negeri serta meningkatkan ekspor. Di sini pun tidak ada upaya pemerintah. Rasio penerimaan pajak negara terhadap PDB (tax ratio) sekitar 10 persen walaupun Indonesia sudah 73 tahun merdeka. Entah apa yang dilakukan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak selama ini. Reformasi perpajakan tahun 1983 mengganti metode penghitungan pajak dengan self assessment, menghitung pajak sendiri, plus beberapa kali program amnesti. Tapi metode menghitung sendiri serta amnesti pajak memerlukan dua syarat: audit perpajakan dan tindak pelaksanaan (enforcement) yang tegas. Keduanya tidak ada sehingga hanya menciptakan peluang bagi kejahatan pengemplang pajak.
Dua gangguan eksternal
ADA dua sumber gangguan eksternal perekonomian dunia dewasa ini. Sumber pertama adalah kenaikan tingkat suku bunga yang terjadi terus-menerus, terutama di Amerika Serikat setelah berakhirnya kebijakan ekonomi negara itu dalam menyuntikkan dana murah (quantitative easing) guna menguatkan modal badan usaha serta lembaga-lembaga keuangannya yang dilanda krisis pada 2007-2008. Secara berkala, bank sentral negara itu mengurangi suntikan dana serta meningkatkan suku bunganya dan keringanan pajak untuk investasi. Gabungan dua langkah itu merangsang aliran modal balik ke Amerika Serikat, termasuk dari negara-negara berkembang. Ini yang disebut sebagai ledakan tingkat suku bunga atau interest tantrum.
Sumber kerawanan kedua adalah peningkatan kebijakan perdagangan sepihak Amerika Serikat yang proteksionistis dan bertentangan dengan aturan yang ditetapkan World Trade Organization. Ini yang disebut pengikatan hambatan perdagangan atau trade tantrum. Berbeda dengan para pendahulunya setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald J. Trump bukan lagi pelopor liberalisasi dan globalisasi perdagangan, lalu lintas modal, ataupun tenaga kerja antarnegara. Perjanjian perdagangan bebas dengan Kanada dan Meksiko, dua tetangga dekatnya, ia ubah. Juga pembatasan impor atas berbagai jenis barang, termasuk besi, aluminium, serta kendaraan bermotor dari Uni Eropa, Jepang, Korea, dan Cina.
Dua kebijakan penting
ADA dua kebijakan penting yang perlu diambil pemerintah setelah Pemilihan Umum 2019. Pertama, mengikuti negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea, Taiwan, dan Cina) agar presiden baru bisa menjawab tantangan perang dagang dewasa ini dengan mengubah strategi pembangunan ekonomi menjadi berorientasi pada ekspor (export-oriented development strategy). Strategi ini sekaligus dapat mencapai dua sasaran.
Pertama, meningkatkan penerimaan devisa guna memupuk tabungan nasional yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan. Sasaran kedua adalah menciptakan lapangan kerja bagi penduduk yang tinggal di wilayah padat, terutama di Pulau Jawa dan Bali, tapi tidak punya keahlian dan keterampilan kerja. Keahlian perajin kita sudah memadai untuk memproduksi tekstil dan pakaian jadi serta mebel kayu, rotan, dan kulit untuk mengganti penurunan ekspor ke Amerika Serikat. Yang perlu ditambah adalah proses pengeringan kayu dan rotan serta penyamakan kulit dan pemasarannya. Hal ini bisa dipelajari dari negara lain atau mengundang mereka dalam usaha patungan, seperti Italia, Maroko, dan negara Skandinavia. Pengiriman jemaah haji dan umrah juga harus bisa dijadikan penghasil devisa dari pakaian, penginapan, restoran dan makanan, hingga transportasi lokal. Kalau tidak boleh ada modal asing, hal itu bisa dilakukan melalui usaha patungan dengan pengusaha lokal. Dari calon presiden yang ada, hanya Joko Widodo yang punya pengalaman sebagai perajin mebel kayu untuk diekspor ke pasar dunia, terutama ke Eropa, guna menghasilkan devisa yang diperlukan bagi pembelanjaan pembangunan nasional. Perabot kayu itu diproduksi industri padat karya yang menciptakan lapangan kerja, terutama di Pulau Jawa dan Bali yang berpenduduk padat.
Kebijakan kedua, selain perubahan strategi pembangunan ekonomi, hal yang perlu diperhatikan presiden setelah Pemilu 2019 adalah meningkatkan penerimaan pajak dan memodernisasi lembaga keuangan. Peningkatan penerimaan pajak dan modernisasi sistem keuangan tidak hanya akan menjamin penyediaan dana demi kesinambungan pembangunan nasional, tapi juga bakal mewujudkan pemerataan pendapatan masyarakat dan memelihara stabilitas ekonomi nasional dari gonjang-ganjing ekonomi yang terus terjadi sejak 1997. Peningkatan tabungan nasional, dalam bentuk devisa dan rupiah, sekaligus mengurangi perlunya pinjaman luar negeri. Seperti pada masa Orde Baru, administrasi pinjaman luar negeri perlu dipusatkan dan dikontrol secara ketat, baik mengenai jumlah, sumber, maupun struktur penggunaannya. Agar ekonomi nasional tidak mendapat beban berat, perlu dihindari pembelanjaan proyek mercusuar dengan pinjaman luar negeri.
Pembangunan sistem keuangan nasional
SISTEM pajak Indonesia masih belum terurus walaupun sudah 73 tahun merdeka. Tax ratio masih 10 persen dibanding rata-rata 19-20 persen untuk negara berkembang lain. Masalahnya adalah audit pajak dan pemaksaan berlakunya Undang-Undang Pajak (law enforcement) tidak pernah dilakukan dengan baik. Sistem pemungutan pajak self assessment serta amnesti pajak sangat bergantung pada dua hal itu.
Pada masa Orde Lama, sumber utama bantuan dan pinjaman luar negeri adalah Rusia dan negara-negara blok Timur untuk memodernisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, juga membangun Gelora Bung Karno, Jembatan Musi, dan Kota Palangka Raya. Selama 32 tahun Orde Baru, konsorsium negara-negara donor Barat yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia/Consultative Group on Indonesia memberikan bantuan dan pinjaman lunak berjangka panjang. Setelah masuk era reformasi, Indonesia beralih ke pinjaman komersial berjangka menengah dan pendek dengan syarat-syarat mahal. Ketergantungan pada pembelanjaan dua defisit ganda (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta neraca pembayaran luar negeri) atas pinjaman komersial menyebabkan ekonomi Indonesia sensitif terhadap dua bentuk kesenjangan (kurs dan jangka waktu kredit). Kesenjangan kurs (currency mismatch) terjadi karena pinjaman luar negeri dalam bentuk valuta asing digunakan untuk berbelanja proyek-proyek yang hanya menghasilkan pendapatan dalam mata uang rupiah. Kesenjangan jangka waktu (maturity mismatch) terjadi karena pinjaman jangka pendek dan menengah digunakan untuk berbelanja proyek berjangka panjang. Kredit harus dibayar kembali sebelum proyek menghasilkan.
Untuk memupuk tabungan nasional, Bank Tabungan Pos (BTP) perlu dibangun kembali dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) perlu dikembalikan fungsinya sebagai bank untuk koperasi, tani, dan nelayan bagi pengusaha kecil dan menengah hingga ke perdesaan. Karena nasabahnya terutama masyarakat kecil, BTP dan BRI sekaligus mengenalkan lembaga keuangan modern bagi masyarakat luas. Sementara itu, dana pensiun dan perusahaan asuransi perlu digalakkan. Yang paling mudah dibangun adalah asuransi kendaraan bermotor.
Jakarta, 8 September 2018
Anwar Nasution
Guru besar emeritus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo