Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto menghadapi dilema. Di satu sisi, dia ingin memperkuat dukungan di parlemen agar kebijakannya selalu mulus. Itu berarti dia harus berhasil merangkul partai yang selama ini tidak mendukungnya. Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa sudah siap merapat. Partai Keadilan Sejahtera masih ambil ancang-ancang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, Prabowo harus membayar dukungan politik itu. Semua orang maklum bayaran itu adalah jabatan menteri. Bagaimana memenuhi jatah ini sementara partai yang selama ini setia dalam koalisi sudah pula memasang target? Apakah kementerian nantinya lebih banyak diisi jatah partai dibanding profesional? Atau jumlah kementerian dibengkakkan?
Yang terakhir ini tampaknya akan dilakukan. Ada sinyal untuk itu. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dalam pertemuannya di Makassar bulan lalu mengusulkan penambahan jumlah kementerian. Kementerian itu adalah ketahanan pangan, perpajakan dan penerimaan negara, pengelolaan perbatasan dan pulau terluar, serta kebudayaan. Empat kementerian itu sudah pernah disebut-sebut Prabowo telah disepakati. Bahkan kementerian kebudayaan sempat disinggung oleh calon presiden Anies Baswedan saat debat calon presiden. "Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Dalam pengalaman kami ketika mengelola Kemendikbud, hampir semua perhatian sumber daya ke bidang pendidikannya dibanding untuk kebudayaannya," kata Anies, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Prabowo pun menjawab: “Saya sangat setuju.”
Usulan adanya menteri kebudayaan bukan hal baru. Ini sudah ada sebelum era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sampai Joko Widodo meraih jabatan presiden, menteri kebudayaan tetap tak ada. Dalam sebuah dialog interaktif yang digagas Aliansi Budaya Rakyat bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia dalam topik “Menyongsong Kementerian Kebudayaan” pada Maret lalu, desakan adanya menteri kebudayaan itu kembali bergema. Bahkan pengamat Rocky Gerung langsung mengusulkan agar menterinya bukan dari jatah partai, melainkan ditunjuk saja oleh Hilmar Farid, yang saat ini menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia dikenal sebagai negeri yang punya budaya adiluhung. Namun urusan kebudayaan selalu dititipkan kepada kementerian lain. Sejak awal pemerintahan berjalan, urusan kebudayaan bergabung dengan urusan pendidikan, meski namanya beragam. Ada departemen pengajaran dan kebudayaan, lalu menjadi departemen pendidikan dan kebudayaan. Pada masa Orde Baru juga demikian, tapi ada komponen budaya lain yang dimasukkan ke departemen penerangan, yaitu urusan film. Festival Film Indonesia adalah hajatan meriah yang dikelola departemen ini.
Pernah pula kebudayaan dititipkan di Kementerian Pariwisata. Tapi tak lama, lalu diambil kembali oleh Kementerian Pendidikan. Adapun pariwisata digabung dengan ekonomi kreatif, sampai sekarang. Malah Kementerian Pendidikan ini makin sesak karena ditambah riset dan teknologi.
Inilah yang memprihatinkan pelaku budaya. Urusan budaya hanya setingkat direktorat. Padahal ruang lingkupnya jika disederhanakan adalah mengurusi masalah perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lain, seperti bahasa.
Indonesia memiliki 742 bahasa dan 478 suku bangsa. Cagar budaya mencapai angka 66.513, terdiri atas 54.398 cagar budaya bergerak dan 12.115 cagar budaya tidak bergerak. Lalu ada 1.728 warisan budaya tak benda. Jumlah itu kalau dirinci ada 491 warisan budaya dalam domain adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Ada 440 warisan budaya dalam domain kemahiran dan kerajinan tradisional serta 75 warisan budaya dalam domain pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta, 503 warisan budaya dalam domain seni pertunjukan, serta 219 warisan budaya dalam domain tradisi lisan dan ekspresi.
Apakah kita tega kekayaan budaya ini diurus asal-asalan? Perlu seorang menteri yang berfokus menjaga martabat dan adab bangsa ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo