Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kherson

Konon di masa lalu pernah tercatat, negara yang kuat mampu—sebagai pemegang hegemoni—menertibkan interaksi internasional. Semacam “tata” bisa terbentuk. Tapi kini, seperti diuraikan di atas, negara kuat tak selamanya mampu mengatur perilaku negara “lemah”.

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI udara basah menjelang musim dingin, 30 ribu prajurit Rusia menyeberangi Sungai Dnipro. Mereka kontingen yang ditarik mundur dari Kota Kherson—menandai kekalahan sebuah negara superkuat, yang punya sejuta tentara yang siap, dalam konfrontasi dengan sebuah negara yang biasanya “tak masuk hitungan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejarah kadang-kadang bergerak cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal Maret 2022, kota di timur Ukraina itu diserbu dan diduduki tentara Rusia. Awal Oktober, di pusat kekuasaannya di Kremlin, Presiden Putin memaklumkan bahwa provinsi (oblast) seluas 70 ribu kilometer persegi itu dijadikan bagian Rusia. Dalam pidato sepanjang setengah jam tentang kebesaran Rusia di masa lalu, Putin menyatakan warga Kherson dijadikannya warga negara Rusia “selama-lamanya”.

Dan bendera Rusia dikibarkan di atap gedung pusat pemerintahan.... 

Tapi beberapa minggu kemudian bendera itu terpaksa diturunkan. Yang dimaklumkan “selama-lamanya” ternyata cuma sebentar. Pasukan Ukraina mendesak maju. Dengan keberanian dan kesabaran yang tak mudah—dan dengan bantuan senjata dari NATO—mereka merebut kembali jengkal demi jengkal tanah air mereka yang dirampas. Dan Kherson mereka rebut kembali.

Rakyat Ukraina turun ke lapangan kota, mengibarkan bendera nasional, berpesta. Ada yang mengatakan, mereka berbahagia karena beruntung menyaksikan sebuah peristiwa “bersejarah”: negara dengan sejuta tentara dan sehimpun senjata nuklir terbukti tak berdaya menaklukkan mereka.

Tapi sebenarnya yang “bersejarah” itu tak amat baru. Dunia terlalu rumit untuk dikendalikan negara-negara besar. Tentara Amerika dipukul mundur pasukan Vietkong dari Saigon setelah 20 tahun Perang Vietnam. Pada 2014, Amerika dan Inggris tak punya pilihan selain menghentikan operasi militer mereka di Afganistan, dan ketika itu tak terjadi penuh, konflik bersenjata dengan Taliban berlanjut. Perang baru berakhir ketika ibu kota Afganistan jatuh pada 2021 dan Taliban menang.

Amerika mungkin lupa, bahwa juga Rusia, ketika masih berupa Uni Soviet, tak berdaya menundukkan gerilyawan Mujahiddin setelah sembilan tahun berperang sejak invasi 1979.

Berkali-kali negara-negara superkuat (yang sering sewenang-wenang) ternyata bisa kalah—dan hierarki kekuatan internasional jadi makin tak pasti. Mengasyikkan sebenarnya, tapi itu berarti tak kunjung tersusun sebuah tata atau orde yang diterima dunia, baik karena suksesnya maupun karena gertaknya. Perang datang dan pergi, dan makin jelas tak ada kehidupan internasional yang teratur.

Kita sedang mengalami sebuah orde yang bukan orde.

Di tahun 1968, dalam jurnal Daedalus, Raymond Aron menulis tentang apa yang disebutnya “anarchical order” atau “asocial society”. Sebuah paradoks. Ia tunjukkan bahwa masyarakat negara-negara berdaulat—katakanlah yang diwakili PBB—pada dasarnya “asosial”. Masyarakat antarnegara itu tak menyingkirkan anggotanya yang memilih jalan kekerasan dan memaksakan kehendak. Otoritas hukum, yang diharapkan bisa mengelola perbedaan dan menangkal kenakalan, ditolak. Apalagi jika yang “nakal” negara yang kuat.

Konon di masa lalu pernah tercatat, negara yang kuat mampu—sebagai pemegang hegemoni—menertibkan interaksi internasional. Semacam “tata” bisa terbentuk. Tapi kini, seperti diuraikan di atas, negara kuat tak selamanya mampu mengatur perilaku negara “lemah”. Negara pemilik sarana represif—katakanlah senjata nuklir—memang bisa menggertak, tapi tak bisa mendikte. Pernah Mao Zedong menganggap senjata nuklir hanya “macan kertas”; ia tak 100% salah. Senjata itu demikian destruktif ke arah siapa saja hingga sang pemilik jeri sendiri buat menggunakannya.

Sementara itu, kekuatan yang tak punya banyak sarana destruktif—gerilyawan Vietkong atau teroris ISIS, yang hanya memegang granat nanas atau pistol otomatis—malah kadang-kadang bisa membuat yang superkuat tak berkutik.

Maka di satu pihak yang kita saksikan adalah “demokrasi” dalam kekuatan, di mana hukum internasional memperlakukan tiap negara setara. Di lain pihak, berlaku praktik-praktik oligarkis, di mana komposisi kekuatan tak setara efektivitasnya dalam memaksa.

Orde yang anarkis itu mengembangkan keanekaragaman, dan sejarah dunia memanfaatkan keadaan itu. Tapi tata yang tanpa hukum itu mengandung kekurangan: ia tak menjamin perdamaian yang awet dan keadilan yang konsisten.

Tak adakah alternatif? Di Prancis abad ke-17, Montesquieu menunjukkan, perdagangan bisa membentuk tata masyarakat manusia yang “halus”, mœurs douces. Sikap yang tak galak pada anggota masyarakat—juga masyarakat bangsa-bangsa—terbentuk ketika perdagangan lancar: “Perdagangan... menggosok menghaluskan (adoucit) cara-cara barbar....”

Saya tak amat yakin. Tapi di abad ke-21 ini, ketika perang makin mahal, mungkin Putin lebih baik memperluas perdagangan internasional (dan ikut aktif dalam G20) sambil senyum manis ketimbang dengan muka masam memperluas wilayah Rusia sampai jauh melewati Dnipro. Dan gagal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus