Meledaknya pengunjung film Catatan Si Boy II di berbagai kota (TEMPO, 17 Desember, Laporan Utama) dapat dipandang sebagai bentuk pergeseran idola sebagian besar kaum muda terpelajar, khususnya mahasiswa. Yakni pergeseran ke arah pembenaran "ideologi" ingin cepat mapan. Karena itu, gejala ini makin menarik untuk diperhatikan, dalam suasana ramai-ramainya kembali sekelompok kecil anak muda negeri ini mempertanyakan eksistensi kebebasan akademis dan otonomi universitas. Benarkah mahasiswa telah dihinggapi semacam wabah yang menyebabkan rasa peka mereka atas lingkungannya makin menipis. Mungkin ini akibat mekanisme pola pembinaan yang tampaknya hanya berjalan dari atas? Kehadiran Si Boy, sebagai sosok mahasiswa ganteng, anak orang kaya, selalu dikerubuti cewek cakep, beriman, dan berotak cemerlang secara tak langsung menghadirkan impian di kalangan mahasiswa dan pelajar. Mengapa justru Si Boy menjadi idola dan pahlawan di periode pasca-NKK/BKK sekarang ini? Akankah mahasiswa terjebak dalam mimpi-mimpi itu? Sedangkan realitas yang mereka hadapi yang seusai dengan pendidikan tinggi, adalah kesenjangan antara jumlah sarjana dan kesempatan kerja yang dapat mereka isi begitu lebar. Kalau mahasiswa tak mempersiapkan diri dengan latihan sikap mandiri, mereka akan menjadi sulit untuk terjun ke masyarakat. Akhirnya, hanya generasi Boy yang mampu bertahan, memang. Sebab, orangtua mereka adalah golongan menengah ke atas, yang mampu mendirikan berbagai usaha bisnis. Sehingga, Boy hanya tinggal membonceng popularitas berikut hadiah jabatan pimpinan puncak yang diberikan. Tetapi bagi mahasiswa yang cuma bermodalkan pas-pasan, sudah pada tempatnya, mimpi menjadi Boy itu dikubur dalam-dalam. Sebab, itu memang hanya sesuatu yang sebenarnya berjalan dari nihilisme ke utopia. Lalu, dapatkah dikatakan berhasil, tujuan pendidikan yang tercermin dalam proses belajar-mengajar di universitas, kalau mahasiswa menjadi asing di kampusnya sendiri? Sudah jelas, universitas bukanlah pabrik diploma. Tujuan ini tak akan tercapai kalau mahasiswa bersifat pasif, mementingkan diri sendiri, yang belajar sekadar memenuhi target SKS, tanpa pernah melakukan aksi sosial guna memperluas wawasan intelektualnya. Itu melalui penelitian dan pengabdian masyarakat yang dilandasi kebebasan akademis. Mahasiswa adalah bagian dari masa depan bangsa. Mereka harus dipersiapkan dalam sebuah rekayasa nasional dalam mengambil bagian dalam mengisi peran. Itu hanya bisa dilakukan melalui sejumlah latihan dan kebebasan bertindak tanpa adanya unsur menggurui dari atas. Hanya mahasiswa yang mampu bersikap kritis, realistis, dan mengembangkan konsepsi berpikir kreatif dalam lingkungan masyarakat ilmiah, universitas yang berotonomi, dan jaminan akademis tinggi, yang akan melahirkan generasi tangguh. Maka berindeks prestasi 4 rasanya belumlah cukup kalau tidak disertai dengan sikap mental yang merakyat. Akankah sikap-sikap berikut pertanyaan tentang kebebasan akademis itu ada dalam Catatan Si Boy II? ADIG SUWANDI Jalan Manyar Tirtomoyo 1 Surabaya 60116