Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cawe-cawe

Lain hal di luar Jawa, cawe-cawe sudah menjadi bahasa gaul yang lebih banyak memberikan stigma negatif.

4 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada kata yang lebih heboh saat ini selain cawe-cawe. Itu gara-gara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan arti cawe-cawe sebagai hal yang positif. Menurut KBBI, cawe-cawe adalah ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Diberi pula catatan kata itu berasal dari bahasa Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, di kalangan budaya Jawa, cawe-cawe bisa bermakna positif dan negatif tergantung konteksnya. Lain hal di luar Jawa, cawe-cawe sudah menjadi bahasa gaul yang lebih banyak memberikan stigma negatif, yakni orang yang suka nimbrung, suka menyela omongan orang lain, senang ikut campur, padahal itu bukan urusan dia. “Ah, kamu ini cawe-cawe melulu, ngerti saja tidak…,” itu salah satu contohnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo berjasa besar menghebohkan kata cawe-cawe. Pada awalnya justru orang lain yang menuduh Jokowi cawe-cawe. Kaitannya adalah ketika Jokowi sibuk mengarahkan partai-partai untuk berkoalisi dalam mencari calon presiden (capres) untuk pemilihan presiden (pilpres) tahun depan. Geraknya itu membuat Jokowi disebut tidak netral sebagai kepala negara yang bertanggung jawab atas pemilihan umum yang jujur dan adil.

Jokowi sempat membantah. Dia menyebutkan bahwa urusan capres adalah hak pemimpin partai. Namun, pekan lalu, di depan sejumlah pemimpin media massa di Istana Negara, Jokowi tegas akan ikut cawe-cawe. Lebih dari tujuh kali Jokowi menyebutkan kata itu ketika ditanyai soal sosok capres pada Pemilu 2024. "Ya, untuk hal ini, saya harus cawe-cawe karena untuk kepentingan negara," katanya. Para pembantu Presiden pun sibuk menjelaskan bahwa cawe-cawe dalam urusan negara ini adalah untuk keberlanjutan pembangunan.

Jokowi memang lincah bersilat lidah. Sangatlah wajar, menjelang lengser, dia memperhitungkan masa depannya. Tentu Jokowi akan memilih hidup nyaman pada hari tuanya sambil melihat anak-anaknya tumbuh sebagai pejabat publik dan tokoh penting dalam politik Indonesia. Wajar pula Jokowi menempuh berbagai jalan agar presiden mendatang adalah orang-orangnya. Jika bukan, tentu ada kekhawatiran lain. Cuma kekhawatiran yang disebutnya adalah pembangunan akan berhenti dan bahkan negara terpuruk karena mengabaikan kesempatan emas untuk maju. Ini memberi kesan bahwa hanya orang-orang Jokowi yang pantas terpilih.

Pemilu dan pilpres 2024 adalah memilih pemimpin yang mengendalikan republik ini. Terlalu berlebihan jika kita menyebut rakyat itu goblok saat mendatangi tempat pencoblosan. Semua capres pasti punya gagasan dan program dalam membangun negeri ini. Gagasan yang digaungkan saat kampanye itu tentu akan dijadikan pertimbangan rakyat saat mencoblos. Semua orang punya semangat yang sama bahwa negeri ini harus lebih baik dan kebaikan itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang dipercaya rakyat. Bisa orang-orangnya Jokowi atau orang yang selama ini berseberangan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo. Biarlah rakyat dengan sukacita memilihnya.

Pembangunan harus berlanjut, siapa pun presiden mendatang. Namun keberlanjutan pembangunan tentu tak terhindar dari perubahan jika perubahan itu dimaksudkan untuk perbaikan. Lembaga seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi—dua contoh saja—mungkin perlu ditata kembali agar tidak dijadikan alat oleh penguasa. Begitu pula pembangunan ibu kota negara, yang mungkin perlu dievaluasi menyangkut lingkungan dan jadwal pembangunannya. Siapa yang kita percayai memimpin perbaikan ini, marilah kita pilih tanpa mengumbar caci maki. 

Biarkan para capres dan tim kampanyenya yang cawe-cawe untuk pemimpin mendatang. Aparatur sipil negara beserta lembaga yang terkait dengan pemilu cukup mengatur jalannya demokrasi agar lebih bermartabat. Jika pun masih ingin cawe-cawe—sebaiknya istilah itu dibuang saja karena ada sisi negatifnya—batasannya adalah bagaimana pemilu dan pilpres itu berlangsung jujur, adil, dan aman. Itulah kepentingan negara yang seharusnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus