Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ombudsman mengendus praktik curang dalam impor bawang putih.
Berpangkal pada penerbitan izin impor bawang putih.
Pintu impor harus dibuka lebar mengingat besarnya ketimpangan antara kebutuhan dan produksi dalam negeri.
BAU tak sedap lagi-lagi tercium dalam tata kelola importasi bawang putih. Sistem kuota yang sudah keliru sejak awal bakal kembali memicu persoalan dalam urusan perniagaan komoditas hortikultura ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ombudsman Republik Indonesia mengendus dugaan maladministrasi dalam penerbitan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dan pengawasan syarat wajib tanam bagi importir bawang putih. Setelah memeriksa sejumlah pejabat Kementerian Pertanian, Ombudsman menemukan empat persoalan, yaitu penerbitan RIPH yang melebihi kuota impor, dugaan pungutan liar dalam pemberian RIPH, dana biaya tanam bawang putih yang diberikan importir tidak sesuai dengan kebutuhan petani, serta ketidaksesuaian antara komitmen wajib tanam dan realisasi wajib tanam oleh importir bersama mitranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelidikan Ombudsman berawal dari pengaduan para importir bawang putih pada pertengahan tahun lalu. Mereka mengeluhkan lambatnya penerbitan RIPH dan persetujuan impor, padahal pasokan bawang putih kian seret dan harganya terus melambung. Sebagian importir pun mengadukan adanya permainan manakala perusahaan yang sudah lama mengajukan persetujuan impor tak kunjung mendapatkan izin, tapi sebaliknya ada importir baru yang memperoleh lampu hijau untuk mendatangkan bawang putih secara cepat.
Dugaan pungutan liar yang ada dalam temuan Ombudsman kali ini membuktikan adanya praktik suap-menyuap demi mendapatkan kuota impor. Demikian pula dengan main-main dalam pemenuhan syarat wajib tanam bawang putih oleh importir. Semuanya menunjukkan ada masalah besar dalam rangkaian aturan impor bawang putih yang berlaku selama bertahun-tahun.
Masalah ini tak terlepas dari mekanisme kuota yang membuka peluang kongkalikong antara pejabat pemberi izin dan importir yang mendulang cuan dari impor bawang. Pemerintah berdalih bahwa kuota impor diperlukan demi menjaga harga bawang putih lokal agar tak jatuh dan membuat petani merugi. Padahal produksi bawang putih lokal tak pernah mencukupi kebutuhan sehingga impor seharusnya bisa dibuka lebar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2020-2022, volume impor bawang putih rata-rata 580 ribu ton per tahun, sementara produksi dalam negeri paling tinggi 81 ribu ton. Jomplangnya angka tersebut didasari fakta bahwa bawang putih adalah tanaman yang hanya cocok diproduksi di negara-negara subtropis seperti Cina, yang selama ini memasok 90 persen kebutuhan Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan regulasi wajib tanam jadi mengada-ada dan cenderung dipaksakan. Negara tropis yang bermimpi swasembada bawang putih tak ubahnya pungguk merindukan bulan.
Melihat data tersebut, pemerintah seharusnya merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang RIPH yang menetapkan wajib tanam bawang putih. Musababnya, dua aturan inilah yang memicu banyak persoalan, dari kelangkaan pasokan akibat keterlambatan penerbitan izin yang memerlukan banyak syarat hingga suap-menyuap demi meloloskan izin. Jika tak kunjung ada perubahan, pemerintah patut diduga mempertahankan aturan ini demi melestarikan praktik koruptif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo