Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Cemas

Ada yang cemas dengan situasi yang terjadi saat ini gara-gara pemilihan presiden yang akan berlangsung bulan depan.

16 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam debat perdana Pemilihan Presiden 2019 d

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia
@mpujayaprema

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang cemas dengan situasi yang terjadi saat ini gara-gara pemilihan presiden yang akan berlangsung bulan depan. Pemilihan umum sejatinya tak cuma memilih pasangan presiden dan wakil presiden, tapi juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun pemilihan wakil rakyat ini tenggelam karena hiruk-pikuk pemilihan presiden yang calonnya cuma dua. Tidak ada calon alternatif. Tidak memilih alias golput bisa disebut bodoh oleh Romo Magnis Suseno, rohaniawan yang filsuf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kecemasan adanya perpecahan dalam masyarakat disebabkan calon presiden yang melakukan pertandingan ulang. Dalam tanding ulang ini, calon presiden hanya mengganti calon wakilnya. Jadi, pendukung fanatik mereka sudah ada sejak lima tahun lalu.

Para pencemas menyebut perpecahan ini sudah keterlaluan, bahkan tidak waras. Kebencian, caci maki, fitnah, dan saling menuduh bohong berhamburan setiap hari. Para budayawan yang terhimpun dalam Mufakat Budaya Indonesia, salah satu kelompok yang cemas, sampai perlu mengeluarkan pernyataan tentang dikhianatinya nilai-nilai kemanusiaan oleh kedua kubu yang bertarung. Mereka menyerukan untuk menghentikan praktik diskursif, ujaran dan tindakan yang berpotensi merusak serta membusukkan tata hubungan sosial kultural masyarakat Indonesia yang sudah susah payah dibangun leluhur kita bersama. Para budayawan ini meminta kontestasi politik tidak dijadikan ajang pertempuran di antara kekuatan yang semata-mata dihela nafsu meraih kekuasaan temporer.

Apakah Anda ikut cemas? Mungkin iya jika Anda penonton televisi berita yang rajin, pembaca media cetak atau online yang setia, apalagi orang yang tak bisa lepas dari gadget untuk terhubung ke media sosial. Di situ memang awal tersajinya segala kecemasan akan rusaknya persatuan bangsa. Namun, kalau Anda sedikit saja mau cuek, misalnya memilih televisi yang isinya sinetron melulu, barangkali kecemasan itu berkurang. Apalagi bila di media sosial Anda hanya berteman dengan orang yang suka membuat status buah-buahan atau memuji anak-cucu, Anda sedikit selamat. Dengan segala dalihnya, media massa dan media sosial adalah sumber ampuh untuk menyebarkan perseteruan kedua kubu. Tentu dengan keberpihakan kepada salah satu kubu, baik diakui maupun tidak.

Kalau sedikit mau piknik ke perdesaan, mungkin juga tingkat kecemasan Anda berkurang tentang rontoknya persatuan bangsa. Perdesaan kita tenang karena para wong cilik sudah jenuh dengan pemilihan yang terlalu banyak sejak ada pemilihan kepala daerah. Masyarakat juga mulai cerdas, tak merasa perlu menjagokan tokohnya sampai ribut-ribut dengan tetangga. Selain itu, taraf hidup mulai membaik sehingga mereka tak tergiur oleh kaus gratis dengan cara ikut kampanye. Di perdesaan yang minoritas muslim keadaan lebih tenang lagi karena pemilihan presiden ini lebih banyak "urusan umat Islam". Sebanyak 80 persen lebih pemilih tetap adalah muslim.

Saya juga cemas. Namun saya mencemaskan orang-orang pintar yang menjadi provokator rusaknya persatuan kita. Mereka itu para elite politik yang kini memegang jabatan penting dan jadi selebritas. Ya, pimpinan DPR, tokoh-tokoh partai, juga banyak akademisi. Cobalah telisik, siapa yang suka mendungukan orang, siapa yang suka menuduh orang berbohong, dan siapa yang menyebarkan fitnah. Mereka orang pintar di dua kubu. Saya tak bisa membayangkan bagaimana kalau jagoannya kalah. Apa mereka legowo menerima? Nanti, apabila pemilu selesai dan permusuhan masih tetap ada, para elite inilah biang keroknya. Ironis. Padahal mereka kebanyakan digaji dengan uang rakyat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus