Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Cerita Orang Tua Korban: Ketika Santri Kian Terancam

Sebagai orang tua, menyatakan bahwa putusan tersebut melabrak logika akal sehat. Setidaknya terdapat sembilan catatan penulis sebagai orang tua korban.

28 April 2023 | 11.30 WIB

Ilustrasi Pemukulan. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi Pemukulan. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sungguh kaget (shock) membaca putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Malang, Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2023/PN Kpn, yang mengadili perkara pidana kekerasan pada anak penulis, DFA (12 tahun) yang memutus bebas terhadap pelaku KR (13 tahun) dengan mengembalikan pada kedua orang tuanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Padahal, dalam putusan, KR terbukti melanggar Pasal 76 C junto Pasal 80 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Artinya, KR secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari itu, anak penulis yang menjadi korban telah mengalami luka memar pada kepala, wajah, kedua belah mata, teling kiri, dada, perut, dan anggota gerak atas kiri, yang bersifat berat bagi tubuh dan secara psikis mengakibatkan trauma yang berkepanjangan. Hingga kini, DFA memilih tidak kembali ke Pondok (berhenti), dan belum bersedia mengikuti Sekolah formal kembali, belajar di rumah berbasis keluarga (homeschooling).

Sebagai orang tua, terlebih anak penulis yang merasakan langsung kekerasan (penyiksaan) yang dilakukan oleh pelaku KR (13 tahun) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di bawah naungan Pondok Pesantren di kawasan Kabupaten Malang hingga mengakibatkan luka berat, menyatakan bahwa putusan tersebut melabrak logika akal sehat. Setidaknya terdapat sembilan catatan penulis sebagai orang tua korban.

Pertama, membuat penulis (orang tua) kecewa, terlebih anak penulis sebagai korban, seketika sedih, meneteskan air mata dan begitu pilu saat mendengar bebasnya pelaku. Mengherankan, sidang putusan yang terbuka untuk umum itu, penulis sebagai orang tua korban, tidak diundang untuk sekadar turut mendengarkan dan menyaksikan pembacaan putusan hakim secara langsung.

Kedua, mengabaikan fakta-fakta hukum, terutama bukti yang memberatkan terhadap pelaku, yakni adanya Visum et Repertum No. 11557637, yang menyebutkan patahnya tulang hidung korban, yang dibuat dan ditandatangani oleh dokter Dwi Fitrianti Arieza Putri, dokter spesialis Forensik pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Saiful Anwar Malang. 

Ketiga, mengabaikan Pasal 70 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan bahwa, ringannya perbuatan pelaku kekerasan menjadi dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana. Pertanyaannya, apakah pelaku kekerasan anak, penyiksaan terhadap anak penulis dengan bukti Visum et Repertum yang menyebabkan patahnya tulang hidung, dikualifikasi sebagai perbuatan yang ringan sehingga pelaku diputus bebas?

Keempat, menciderai dan mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat yang sejatinya didapatkan oleh korban melalui ruang peradilan yang terhormat di mana awalnya penulis percaya bahwa pengadilan adalah tempat mencari keadilan, dan penulis yakin hakim akan memutus yang seadil-adilnya tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Kelima, potensial membuat Santri yang merupakan calon generasi masa depan (tunas bangsa), makin terancam keamanannya karena adanya putusan yang dapat disimpulkan memberikan “angin segar” bagi para pelaku kekerasan terhadap anak di lingkungan Pondok Pesantren di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir marak terjadi.

Keenam, potensial membuat para orang tua atau wali Santri merasa tidak aman dan was-was terhadap keberadaan putra-putrinya yang sedang belajar di Pondok Pesantren karena adanya suatu putusan yang tidak mencerminkan terjaminnya perlindungan hukum dari Negara jika mengalami kekerasan seperti yang dialami anak penulis.

Ketujuh, menjadi preseden buruk penegakan hukum pidana anak karena, selain putusan itu tidak memberikan efek jera sama sekali terhadap pelaku, juga dapat menjadi Yurisprudensi, sumber hukum bagi hakim-hakim di Indonesia dalam memutus perkara yang sama di kemudian hari. 

Kedelapan, sebagai orang tua yang senang pada anaknya yang tidak perlu dipaksa untuk Mondok, pantaslah penulis berharap bahwa, matinya keadilan pada Santri yang menjadi korban kekerasan (penyiksaan) hingga patah tulang hidung, hanya terjadi pada peradilan anak penulis, dan tidak terjadi pada peradilan-peradilan berikutnya di tanah air. Tentu, agar Santri-santri di Indonesia merasa tenang, nyaman, dan aman belajar di Pondok Pesantren.

Kesembilan, sebagai orang tua yang awam hukum, penulis berharap, meminta, dan memohon agar preseden buruk penegakan hukum pidana anak ini, mendapatkan atensi yang positif dari Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Bapak Mahfud MD., Ketua Mahkamah Agung, Bapak Muhammad Syarifuddin, Jaksa Agung, Bapak ST. Burhanuddin, dan Ketua Komisi Yudisial, Bapak Mukti Fajar Nur Dewata.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus