Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Virus Corona Kedua - Variasi Kebodohan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya punya berita untuk anda. Tapi, duduklah sebentar. Saya tidak mau Anda pingsan. Ada dua macam virus corona di luar sana. Dua, bukan satu: dan yang kedua, bisa membuat orang dewasa menjadi bodoh mari kita sebut dia sebagai "variasi kebodohan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang pertama adalah flu itu sendiri, yang dikenal dengan "virus corona novel", pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok, dan berakibat fatal untuk beberapa orang kurang lebih 2% dari mereka yang terinfeksi ketika tulisan ini dibuat. Sejauh yang saya pahami, gejalanya mirip dengan flu biasa: demam, batuk, dan sesak napas. Namun, dalam skenario terburuk, gejala tersebut bisa berubah menjadi pneumonia dan gangguan pernapasan akut.
Pada 31 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mendeklarasikan flu di Wuhan sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC)
Sebaliknya, apa yang saya sebut dengan "variasi kebodohan" telah membuat kepanikan global yang didorong oleh media sosial. Ini bagaikan sejuta zombi yang memegang telepon genggam, sedang menularkan penyakitnya ke banyak orang dalam waktu yang sangat cepat.
Mutasi ini terbukti lebih buruk daripada virus aslinya. Hal ini juga jutaan kali lebih sulit untuk ditangani pemerintah.
Orang dewasa yang pintar kerapkali hanya sekilas melihat pesan-pean di Facebook, Twitter, dan Whatsapp, lalu menekan tombol "suka", "retweet", dan "bagikan" tanpa tedeng aling-aling.
Hal yang sama terjadi dengan Line, WeChat, Telegram, dan TikTok. Perhatikan ya, karena saya juga yakin Anda sekalian melakukan hal yang serupa!
Patut diingat bahwa pada tahun 2002-2003, wabah Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS (yang juga dimulai di Asia) terjadi sebelum masa media sosial. Informasi yang kita terima tentang SARS umumnya datang dari media arus utama yang konvensional.
Petugas kesehatan menangani pasien dengan potensi terinfeksi coronavirus di Wuhan, Tiongkok. Per 1 Februari 2020, virus tersebut telah menginfeksi 11.949 orang di seluruh dunia dan menewaskan 259 jiwa.
Dulu, negara-negara harus berurusan dengan krisis, lalu mengatur kekacauan politik, ekonomi, dan reputasi.
Belakangan, ada juga kepentingan untuk menghajar virus kedua yang sudah bermutasi waktu terbuang percuma hanya demi membuktikan bahwa berita bohong yang berkaitan dengan kejadian-kejadian global adalah sesuatu yang tidak benar.
Percayalah, banyak sekali hal-hal seperti itu yang berkenaan dengan virus corona orang-orang Asia membuktikan bahwa mereka juga sama lemahnya terhadap virus kebodohan seperti orang Amerika dan Eropa.
Ada beberapa tulisan di media sosial yang menuduh bahwa warga Tiongkok yang kabur dari virus Corona, diam-diam bersembunyi di Thailand. Menteri Kesehatan Malaysia sampai harus mencuitkan tweet yang isinya membantah kalau penderita virus corona berlaku seperti zombi.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-o-cha mengunjungi titik pengecekan di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok. Hingga 1 Februari 2020, terdapat 19 kasus 2019-nCov yang terkonfirmasi di Thailand, kedua terbanyak setelah Tiongkok
Ada juga video viral yang digambarkan di Tiongkok, di mana seorang wanita sedang memakan sup kelelawar (yang sering dijadikan biang kerok sebagai penyebar virus), padahal video itu diambil beberapa tahun yang lalu (pada 2016) dan tidak terjadi di Tiongkok.
Namun, tulisan-tulisan yang gila dan tidak bertanggung jawab seperti itu justru disebarkan beribu kali.
Beberapa di antaranya bahkan rasis secara blak-blakan (kerapkali anti-Tionghoa).
Mengapa sih tulisan seperti itu cepat sekali menyebar, dan orang-orang juga dapat dengan mudahnya percaya?
Mungkin karena tulisan-tulisan tersebut kerap menggarisbawahi dan memperkuat kegelisahan yang ada di masyarakat.
Thailand, Filipina, dan Malaysia memiliki hubungan yang dekat namun rumit dengan Tiongkok. Terlebih minoritas etnis Tionghoa domestik juga menghadapi tantangannya sendiri. Virus corona memang sedang ngetran, tapi itu juga mendistorsi kekhawatiran seperti ini.
Medium yang digunakan juga ada pengaruhnya.
Dengan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, sekarang Anda bisa berbagi apapun, secara instan, dan ke manapun, kepada siapapun bahkan dengan menggunakan materi yang menarik perhatian seperti gambar, suara, dan video.
Siapa sih yang punya waktu dan akal sehat belakangan ini untuk memeriksa sumber-sumber dari pesan-pesan ini?
Bagaimana dengan media arus utama? Apakah mereka punya peran?
Di masa lalu, surat kabar nasional, televisi, dan stasiun radio bisa mengendalikan narasi. Namun, berita yang diriset dengan baik, juga dengan pemeriksaan fakta yang akurat, harganya mahal. Hal itu membutuhkan ruang berita yang diisi oleh jurnalis dan editor yang terlatih.
Sedihnya, media arus utama juga terluka parah dengan kemajuan media sosial yang tidak terbendung. Berita tentang organisasi berita yang bangkrut atau potong jumlah karyawan, kerap terdengar tiap minggu.
Oleh karena itulah, omong kosong yang konyol dan tidak masuk akal justru mendapatkan banyak retweet dan tersebar.
Berbagai berita bohong menyebabkan Kementerian Kesehatan Malaysia sampai harus mem-posting tweet yang secara spesifik menyatakan virus tersebut tidak menyebabkan efek seperti zombie pada mereka yang terinfeksi
Terkadang, laporan yang serius dan bertanggung jawab memang bisa menjadi viral. Namun, kerapkali mereka kalah seksi dibandingkan gambar di Facebook atau video di YouTube.
Kita seringkali menggunakan potongan berita ini untuk mengkonfirmasi atau menyanggah konten viral yang dibagikan oleh teman maupun anggota keluarga.
Mungkin begitulah masa depan media arus utama: bermain bertahan. Jauh sekali dari masa ketika surat kabar berperan besar dalam membentuk pemikiran masyarakat.
Beberapa bagian dari pers bahkan malah ikut-ikutan ke dalam iklim ketakutan: membuat tajuk atau kutipan yang bersifat clickbait.
Berbeda dengan bagaimana SARS diliput dua dekade yang lalu, di awal kepanikan akibat virus corona belakangan ini, hanya sedikit laporan berita yang baik dan dapat diakses masyarakat tentang apa itu virus corona, dan bagaimana caranya agar orang-orang tetap sehat.
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang mewabah pada tahun 2003 disebabkan oleh jenis virus yang berbeda dibanding coronavirus (SARS-CoV)
Yang banyak justru berita menyeramkan tentang bagaimana sepatutnya kita ketakutan. Kebayang kan kenapa banyak orang jadi lebih suka media sosial?
Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk maju ke depan?
Sensor kerapkali tidak berguna. Berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja, justru akan menjadi senjata makan tuan bayangkan bagaimana marahnya warga Wuhan yang merasa dibohongi sejak awal.
Sekelompok turis China mengenakan masker wajah di Kuil Erawan, sebuah lokasi turisme populer di Bangkok pada 27 Januari 2020
Pendidikan dapat membantu: orang-orang dari segala usia harus lebih bisa mencerna berita dan informasi. Bagaimana informasi itu dibentuk, digunakan, dan dieksploitasi.
Tapi seringnya, ini adalah masalah energi.
Orang-orang yang peduli dengan kebenaran harus lebih proaktif dalam berbagi berita akurat, sama aktifnya dengan mereka yang menebar rumor-rumor dan ketakutan secara daring.
Konten seperti itu juga harus tepat waktu dan juga harus siap untuk menjadi viral.
Melelahkan memang, namun inilah awal perjuangan ini adalah realitas di mana kita hidup.
Pembuat kebijakan dan pembentuk opini, baik itu publik maupun korporat, harus sadar bahwa krisis pada saat ini harus diatasi secara asimetris.
Dulu manusia berperang merebutkan wilayah. Namun pada saat ini, kita bertarung demi atensi.
Screencapture dari situs Departemen Kesehatan Filipina yang meminta masyarakat untuk hanya menggunakan informasi yang bersumber dari pemerintah- metode ini telah diikuti oleh berbagai pemerintah lain untuk menangkal berita bohong
"Perang Sosial Media" adalah salah satu front yang harus diperjuangkan. Ia akan menjadi dan mungkin malah sudah menjadi sebuah penentu, "situasi harus menang".
Saya yakin, corona virus yang asli akan dapat ditangani dalam waktu dekat. Namun, menyembuhkan "variasi kebodohan" akan makan waktu lama dan usaha yang lebih banyak.