Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Patungan

Cara pengumpulan dana itu sekarang mau dipakai untuk membiayai Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Istilahnya bisa saja keren, crowdfunding. Pertanyaannya, apakah ibu kota baru itu disambut dengan kegembiraan dan semua orang merasa memiliki?

27 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu kearifan yang diwarisi bangsa ini adalah sifat gotong royongnya. Presiden Sukarno dalam uraiannya mengatakan Pancasila bisa diperas menjadi trisila dan bahkan eka sila, yakni gotong royong. Apa pun masalahnya, bisa dikerjakan secara gotong royong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam hal pengumpulan dana, sifat gotong royong bisa berupa patungan, urunan, saweran, dan nama lokal lainnya. Patungan merupakan istilah yang dipakai dengan cara memberikan sumbangan dana tanpa ditentukan jumlahnya. Urunan biasanya sudah ditetapkan besarnya. Sedangkan saweran hampir sama dengan patungan. Hanya, di beberapa daerah, terutama di Jawa, istilah saweran ini lebih pada memberikan dana dalam bentuk spontan untuk kegiatan tertentu. Misalnya, memberikan saweran saat menghadiri acara pernikahan. Memberikan uang kepada penari di panggung. Pada pentas Srimulat serta ketoprak di masa jayanya, ada saja penonton yang melempar uang ke panggung dan itu pun disebut saweran. Apa pun istilahnya, semua dilakukan secara sukarela dalam suasana kegembiraan karena ada rasa memiliki.

Cara pengumpulan dana itu sekarang mau dipakai untuk membiayai Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang akan dibangun di Kalimantan Timur. Istilahnya bisa saja keren, crowdfunding. Pertanyaannya, apakah ibu kota baru itu disambut dengan kegembiraan dan semua orang merasa memiliki?

Di sini kunci dari keberhasilan meraup dana lewat warisan kearifan lokal tersebut. Kepala Otorita IKN Nusantara Bambang Susantono harusnya menyadari kondisi batin warga bangsa saat ini. Apakah masyarakat saat ini sedang dalam kegembiraan dalam hidup kesehariannya? Apakah IKN Nusantara itu sudah disambut oleh warga bangsa ini sebagai milik bersama?

Ibu-ibu masih antre untuk mendapatkan minyak goreng. Sopir truk di Balikpapan antre solar selama tiga hari. Antrean serupa terjadi juga di daerah lain. Warga Sangatta, tak jauh dari IKN Nusantara dengan struktur alam yang sama-sama rusak oleh tambang batu bara, masih bergulat dengan banjir. Sebentar lagi bulan suci Ramadan tiba, sebagian besar penduduk bangsa ini mengeluhkan naiknya harga kebutuhan pokok. Sementara itu, jutaan orang masih terpuruk secara ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bagaimana bisa patungan dana untuk membiayai ibu kota negara itu?

Lalu kebersamaan dan rasa memiliki. Apakah IKN Nusantara sudah mendapat tempat di hati masyarakat? Perencanaan yang tidak melibatkan banyak orang, pemilihan tempat di lokasi yang hutannya banyak lubang akibat tambang, alasan pemindahan kota, sampai Undang-Undang IKN yang disahkan terburu-buru merupakan sisi buruk yang menumpuk. Apalagi adanya target fantastis, IKN Nusantara harus bisa dipakai untuk upacara HUT Proklamasi pada 17 Agustus 2024—hajatan terakhir Presiden Joko Widodo jika masa jabatan presiden tak bisa diperpanjang. Dengan rasa tak memiliki ini, bagaimana orang mau menyawer?

Kegaduhan sangat mungkin terjadi jika saweran itu dipaksakan lantaran kehabisan akal mencari dana. Ada pengalaman bagaimana Taman Mini Indonesia Indah (TMII) digagas Ibu Negara Tien Soeharto pada 1972. Dana pemerintah tak banyak. Presiden Soeharto lantas meminta semua provinsi di Indonesia urunan untuk membuat paviliun daerah masing-masing. TMII baru diresmikan tiga tahun kemudian dan Ibu Tien terus meminta instansi membangun museum tentang lembaganya.

TMII akhirnya hanya menjadi salah satu tempat rekreasi orang Jakarta. Gagal sebagai pintu gerbang budaya Nusantara. Museum dan paviliun mulai telantar dan sepi. Di mana salahnya? Perencanaan dan gagasan tidak melibatkan banyak orang untuk sebuah ide tentang keberagaman budaya Nusantara. Orang daerah tak merasa memilikinya, bagaimana paviliun itu bisa hidup? Tak ada yang mau urunan lagi.

IKN pun bisa gagal jika rasa memiliki ibu kota negara itu tak ada. Siapa yang mau patungan?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Penulis tinggal di Bali. Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus