Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Keputusan pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok sungguh keliru. Pembatalan itu memberi kesan pemerintah lebih mendengarkan aspirasi kalangan industri rokok ketimbang melindungi kesehatan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kenaikan cukai rokok menjelang pemilihan umum bisa mengguncang stabilitas terkesan mengada-ada. Rokok bukanlah kebutuhan primer. Masyarakat kebanyakan tak terlalu sensitif terhadap kenaikan harga rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Yang jelas, keputusan pemerintah ini menguntungkan kalangan industri rokok. Batalnya rencana kenaikan cukai membuat harga rokok tak perlu naik. Sesuai dengan hukum pasar, kenaikan harga pasti bakal mengurangi penjualan dan menipiskan margin keuntungan industri rokok. Dengan pembatalan ini, para juragan pabrik rokok bisa bernapas lega.
Sedangkan nasib petani dan buruh pabrik rokok tak bakal berubah banyak dengan adanya keputusan pemerintah ini. Tak benar jika disebutkan pembatalan kenaikan cukai menyelamatkan mereka. Naik-tidaknya cukai rokok tak berpengaruh signifikan terhadap taraf hidup petani tembakau. Kesejahteraan mereka bergantung pada kebijakan pabrik rokok yang secara sepihak menentukan harga dan kualitas daun tembakau.
Pemerintah sebenarnya punya alasan kuat untuk menaikkan cukai rokok. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2007 tentang Cukai memperbolehkan cukai rokok naik sampai 57 persen. Apalagi Indonesia saat ini termasuk negara dengan cukai rokok terendah di dunia. Dengan menaikkan cukai rokok sekitar 10 persen saja, pemerintah bisa meraup dana segar Rp 15 triliun. Dana itu bisa dipakai menangani pelbagai masalah kesehatan akibat konsumsi rokok.
Penting disadari bahwa cukai rokok pada dasarnya merupakan "pajak penebus dosa" alias sin tax. Penetapan cukai berangkat dari pemahaman bahwa rokok, seperti halnya minuman keras, merupakan barang konsumsi yang mendatangkan banyak mudarat. Karena itu, cukai sengaja ditetapkan untuk membatasi konsumsinya. Pertimbangan itulah yang seharusnya diutamakan pemerintah.
Pembatalan kenaikan cukai rokok membuat harga rokok tetap terjangkau oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan anak-anak dan pelajar dengan uang saku pas-pasan pun masih bisa merogoh kocek untuk membeli rokok. Dampak semacam ini tampaknya luput dari kalkulasi pemerintah.
Dampak negatif rokok bagi kesehatan masyarakat tak terbantahkan. Riset Kesehatan Dasar mutakhir dari Kementerian Kesehatan menunjukkan kenaikan prevalensi pelbagai penyakit mematikan, seperti kanker, stroke, darah tinggi, dan jantung koroner. Ini semua penyakit yang terkait dengan perilaku merokok.
Karena itu, wajar jika pendapatan tambahan negara dari kenaikan cukai dialokasikan untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Toh, selama ini, dana mereka tersedot untuk membiayai pengobatan pelbagai penyakit tersebut. Jika ingin berpihak kepada rakyat, pemerintah belum terlambat untuk merevisi kebijakannya dan segera menetapkan kenaikan cukai rokok.