Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkara pembobolan di Bank BNI Kebayoran beberapa waktu lalu ter-nyata melibatkan polisi, yang ditu-duh kena suap dalam proses pemeriksa-annya. Benarlah dalil yang mengatakan bahwa setiap korupsi kelas berat pasti punya jembatan dengan kekuasaan. Jika jumlah yang disikat tergolong top-nilai yang dibobol Rp 1,2 triliun-kekuasaan yang dilibatkan juga kurang lebih seban-ding, yaitu pejabat yang ada di puncak. Ini yang harus diselidiki sampai terbukti salah-benarnya.
Ada petunjuk bahwa rupanya uang suap mencapai ke lapisan tertinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Petunjuk ini terungkap dalam kesaksian di pengadil-an yang memeriksa Komisaris Besar Polisi Irman Santoso dua pekan lalu. Pucuk pim-pinan Polri secara tidak langsung disebut-sebut se-bagai penerima dana berjumlah Rp 15,5 miliar dari Adrian Waworuntu yang tersangkut perkara BNI pada 2003 itu. Ahli finansial yang dikenal cerdik ini dianggap memegang pe-ranan kunci dalam rekayasa membobol uang dengan jumlah fantastis di BNI tersebut. Dia sekarang menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Seorang saksi dalam sidang perkara suap Irman Santoso mengatakan pernah melihat dua kuitansi yang dibuat Adrian Waworuntu, tanda terima sejumlah uang dari PT Brocolin. Kuitansi pertama sebesar Rp 8,5 miliar, yang mencantumkan keperluan penerimaan sebagai "biaya administrasi Trunojoyo I". Kuitansi kedua buat penerimaan Rp 7 miliar adalah untuk "biaya administrasi Bareskrim". Trunojoyo I adalah kode yang diduga dipakai untuk Kepala Polri, dihubungkan dengan Markas Besar Polri yang ter-letak di Jalan Trunojoyo, Kebayoran, Jakarta Selatan.
Apakah betul dana tersebut disampaikan oleh Adrian Waworuntu ke pihak-pihak yang tertulis dalam kuitansi, belum ada pembuktian yang memastikannya. Motif penggunaan dana itu juga tidak diketahui. Yang terang, kalau uang sempat diserahkan, hal itu termasuk kategori suap. Pejabat Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri membantah bahwa dana itu diperuntukkan bagi Kepala Polri atau Bareskrim. Sedangkan Dicky Iskandar Dinata, Direktur PT Brocolin, dalam kesaksiannya di pengadilan meng-aku mengirimkan uang tunai dengan jumlah itu kepada Adrian Waworuntu.
Apa yang sesungguhnya terjadi harus bisa diungka-pkan dengan lengkap. Kalau dokumen yang diajukan dan ke-saksian yang diberikan mengandung sedikit kebenaran, maka itu cukup jadi bukti permulaan untuk menduga adanya suap kepada pimpin-an Polri. Masalahnya tidak boleh dianggap selesai hanya dengan mengeluarkan bantahan saja. Tidak cukup sekadar me-ngatakan bahwa persoalannya terbatas pa-da kirim-mengirim uang antara Dicky Iskandar Dinata dan Adrian Waworuntu.
Mengapa tidak ditelusuri dan diselid-iki ke mana perginya uang miliaran itu de-ngan memeriksa Waworuntu? Bagi orang awam tidak tampak halangan yang terlalu sukar untuk menyelidiki kasus ini. Polisi sendiri cukup menguasai teknik dan pu-nya ahli yang diperlukan untuk meme-cahkannya. Mungkin soalnya ialah karena enggan membongkar hal yang diduga menyangkut pemimpin sendiri-waktu itu Kepala Polri dijabat oleh Jenderal Da'i Bakhtiar-supaya Polri sebagai kesatuan tidak usah ikut menanggung aib kalau terbukti bersalah.
Kepala Polri yang sekarang, Jenderal Sutanto, pernah berjanji di DPR akan menuntaskan soal dugaan suap dalam proses pemeriksaan pembobolan BNI. Namun, sampai seka-rang yang diperiksa baru terbatas pada beberapa perwira tinggi Polri, termasuk Kombes Irman Santoso yang sedang diadili. Bahan petunjuk yang terungkap di pengadilan belum ditindaklanjuti. Mungkin untuk menghindari rasa sungkan dan agar lebih obyektif, Kepala Polri perlu membentuk semacam komisi khusus menangani penyelidikan dugaan suap yang melibatkan pemimpin Polri yang lalu.
Jika hasil penyelidikan komisi menyatakan tidak terjadi tindak pidana, maka laporan yang jujur dan lengkap bisa diterbitkan sebagai semacam "buku putih" yang menjelaskan duduk perkaranya kepada masyarakat. Sebaliknya, proses penuntutan dilanjutkan andaikata ternyata suap memang terjadi. Apabila melalui komisi internal dianggap kurang memenuhi syarat obyektivitas, maka bisa diminta bantuan pemeriksaan oleh badan di luar kepolisian. Misalnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memang tugasnya memeriksa dugaan korupsi yang menyangkut penegak hukum.
Alternatif lain dari luar kepolisian ialah memakai kewenangan istimewa yang dipunyai DPR. Melalui pembentukan panitia angket DPR, bisa ditunjuk semacam special investigator yang khusus menyelidiki kasus dugaan suap itu. Ini bukan cara yang biasa, tapi kalau perlu, bisa ditempuh. Dengan cara apa pun, yang penting petunjuk ada-nya suap di lapisan atas Polri tidak dibiarkan berlalu begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo