Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN berjalan, perintah Presiden Joko Widodo agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) memperbaiki tata kelola hak guna usaha pada awal 2022 belum membuahkan hasil. Hingga kini, kebijakan peta tunggal tanah yang diluncurkan Jokowi pada 2016 itu berjalan di tempat. Akibatnya, konflik agraria dan korupsi masih terus marak terjadi.
Amburadulnya izin HGU itu bersumber dari lambatnya proses digitalisasi area konsesi korporasi berbasis lahan. Kajian terbaru Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2022 menemukan 1.779 sertifikat HGU atau 11,52 persen dari total 15.441 sertifikat belum terdigitalisasi dengan baik. Secara total, luas HGU yang belum terpetakan itu mencapai 8,3 juta hektare dari 9,8 juta hektare wilayah HGU nasional.
Proses pemetaan tanah yang kacau balau merupakan warisan masa lalu yang mesti segera ditangani. Lemahnya pengawasan dan penyimpangan prosedur pengurusan HGU telah memicu banyak konflik agraria di banyak wilayah Indonesia. Sepanjang 2021, Konsorsium Pembangunan Agraria mencatat ada 74 konflik yang muncul di sektor perkebunan. Bahkan sebagian gesekan masih berlanjut sampai sekarang.
Tidak transparannya peta luasan HGU membuat masyarakat dan perusahaan saling mengklaim pengelolaan lahan. Dalam banyak kasus, terjadi tumpang-tindih HGU dengan lahan masyarakat. Pemilik HGU bahkan mencaplok kawasan hutan. Jika terus dibiarkan, konflik ini akan terus muncul, bahkan berpotensi meluas di masa mendatang.
Salah satu yang menjadi korban adalah ekosistem gambut. Ada sekitar 2,3 juta hektare izin HGU yang berada di atas lahan gambut. Umumnya dimiliki perkebunan kelapa sawit. Satu juta hektare di antaranya terbakar pada periode 2015-2019. Kebakaran ini ditengarai hanya akal-akalan perusahaan untuk menghemat ongkos pembukaan lahan.
Pencatatan peta secara digital menjadi penting karena batas lahan HGU akan terlihat jelas dan presisi. Selama ini, pengukuran tanah masih menggunakan koordinat lokal, seperti mengacu pada batas sungai, danau, atau tebing. Inilah yang menjadi penyebab munculnya konflik lahan. Dengan adanya peta digital, HGU akan dikelola secara terbuka dan akuntabel. Masyarakat juga akan ikut mengawasi.
Alih-alih membuka akses publik, BPN bergeming menutup rapat-rapat data HGU. Padahal Mahkamah Agung sudah meminta pemerintah membuka data HGU lewat putusan kasasinya pada 2017. Kucing-kucingan data HGU berpotensi membuka celah korupsi. Contohnya kasus yang menjerat Kepala BPN Riau Muhammad Syahrir, yang dituduh menerima suap perpanjangan HGU sebuah perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi pada Desember 2022.
Dengan kebijakan lama, pengelolaan HGU kerap berbuah proses hukum. Dalam rentang empat tahun terakhir, ada 31.228 perkara pertanahan yang muncul. Sebanyak 60 persen di antaranya berlanjut hingga ke lembaga penegak hukum. Di antaranya ditemukan 244 kasus yang melibatkan mafia tanah. Dalam kasus di Kuantan Singingi, suap perpanjangan HGU turut melibatkan aparat pemerintah hingga bupati.
Modus purba untuk mengeksploitasi sumber daya alam ini harus segera dihentikan. Dengan menggunakan peta yang sudah ketinggalan zaman, kasus-kasus pertanahan akan terus bermunculan. Berbagai penyelesaian batas HGU akan selalu diselesaikan di bawah meja. Situasi ini akan terus dimanfaatkan oleh para mafia tanah tanah dengan menggunakan pelbagai kelemahan BPN: kekurangan anggaran dan sumber daya manusia untuk memperbaiki peta HGU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo