Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REVISI Undang-Undang Desa yang baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 28 Maret 2024, hanya akan makin meningkatkan ketergantungan desa terhadap pusat dan memperbesar peluang penyalahgunaan anggaran. Aturan baru ini juga akan menjadikan pemerintah desa hanya sebagai pelaksana proyek pemerintah. Akibatnya, daya saing desa kian lemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelemahan desa terjadi karena pemerintah desa hanya akan berfokus menyesuaikan pembangunan wilayahnya agar sesuai dengan ukuran dalam Indeks Desa Membangun dan Indeks Desa. Dua ukuran inilah yang digunakan pemerintah untuk menilai fungsi desa sebagai pelaksana proyek terpusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan daya saing desa sejatinya sudah dan sedang terjadi. Ada tiga indikasi yang menggambarkan kondisi tersebut. Pertama, elite desa didukung pemerintah tingkat II berlomba-lomba memekarkan desa, meski pemerintah memoratorium pemekaran daerah. Pada periode 2015-2021, sebelum dan sesudah dana desa, ada 1.875 desa baru yang dimekarkan. Beberapa di antaranya merupakan hasil perubahan status dari kelurahan menjadi desa.
Indikasi kedua adalah turunnya pendapatan asli desa (pades). Hal ini terjadi akibat makin besarnya ketergantungan desa terhadap dana desa. Jumlah desa yang memiliki pades turun dari 44.029 desa pada 2014 menjadi 33.600 desa pada 2018.
Hal itu kemudian memunculkan fenomena lain. Banyak unit usaha badan usaha milik desa (bumdes) yang keberadaannya hanya menjadi pelengkap laporan untuk pencairan dana desa. Meskipun ada 58.418 bumdes yang terdaftar di sistem Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, hanya segelintir bumdes yang mampu menghasilkan pades.
Bahkan, menurut data Potensi Desa 2021, hanya 56.039 desa yang memiliki bumdes. Sulitnya mewirausahakan birokrasi ini juga tecermin dari turunnya jumlah pasar desa, dari 10.488 unit pada 2014 menjadi 8.646 unit pada 2021.
Pembatasan Otonomi Desa
Perubahan status desa menjadi sekadar pelaksana proyek pemerintah juga membuat otonomi desa sangat terbatas. Pembatasan otonomi desa itu tecermin dari ucapan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR pada 5 Februari 2024. Ia menegaskan bahwa desa merupakan bagian dari pemerintah tingkat II karena otonomi daerah hanya mengenal dua tingkatan: provinsi dan kabupaten/kota.
Padahal, secara eksplisit, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa—yang akhirnya direvisi—menegaskan bahwa desa berwenang mengatur diri sendiri. Termasuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui serta dihormati.
Menempatkan desa sekadar sebagai pelaksana proyek pemerintah sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu. Konsep ini meniru fungsi otonomi gaya Eropa pada zaman pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam konsep itu, kepala desa ditempatkan hanya sebagai pelaksana proyek dan dibatasi beragam peraturan dari sistem di atasnya.
Beberapa aturan itu di antaranya Undang-Undang Desa Tahun 1906 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1906 dan PP Nomor 212 Tahun 1907. Dalam aturan-aturan itu, Kepala desa dianggap sebagai kepala badan hukum komunitas pribumi (inheems rechtsgemeenschap) yang ditugasi menarik pajak, menjaga keamanan, dan melaksanakan kewenangan pemerintah.
Meski ada upaya menjadikan desa sebagai pemerintah daerah tingkat III, rencana itu urung terealisasi. Sejak aturan mengenai desa dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desa tetap ditempatkan sebagai pelaksana pembangunan.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, sebetulnya desa dipandang sebagai subyek pembangunan yang otonom. Namun upaya pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga hasil musyawarah desa dikebiri oleh pemerintah di atasnya. Penyebabnya, pembangunan desa terikat oleh Peraturan Menteri Desa serta harus melalui persetujuan pemerintah tingkat II.
Celah Korupsi Kian Terbuka
Dalam revisi Undang-Undang Desa, dua hal yang digaungkan para perangkat desa adalah peningkatan anggaran dana desa dan perpanjangan masa jabatan kepala desa. Hal ini bakal berdampak negatif jika dibarengi niat buruk kekuasaan. Penambahan masa jabatan kepala desa didorong dengan alasan menekan inefisiensi, mencegah tumbuhnya oligarki, serta memberi ruang pemulihan situasi sosial yang kondusif akibat pemilihan kepala desa (pilkades).
Sebetulnya, aneka persoalan tersebut justru muncul akibat pertarungan para elite desa itu sendiri. Selain itu, penambahan masa jabatan mempertegas watak para kepala desa yang haus kekuasaan dan takut tidak terpilih kembali dalam pilkades. Argumen bahwa pilkades melahirkan polarisasi sosial sebetulnya dapat diredam jika kepala desa yang terpilih dapat membangun wilayahnya secara adil dan merata.
Sementara itu, peningkatan anggaran dana desa tanpa penguatan pendampingan dan pengawasan bakal membuka celah korupsi anggaran desa makin lebar. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, dalam kurun waktu 2015 sampai 2022, setidaknya ada 651 kepala desa yang terlibat kasus korupsi. Sedangkan berdasarkan data Potensi Desa 2018-2021, secara akumulatif terdapat 1.236 desa yang tertimpa kasus korupsi.
Pengawasan oleh warga desa untuk memelototi penggunaan anggaran dana desa dan membuka kasus korupsi juga bukan perkara mudah. Warga harus berhadapan dengan orang yang paling berpengaruh di desa. Berdasarkan hasil studi berjudul "Village Justice in Indonesia" yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2004, penegakan hukum di desa lebih banyak dilakukan secara informal. Mekanisme ini dilakukan karena murah, cepat, adanya rasa takut akan balas dendam, dan pemahaman hukum masyarakat yang terbatas. Akibatnya, keberadaan Badan Permusyawaratan Desa tak efektif karena sulit melakukan pengawasan.
Revisi Undang-Undang Desa hanya akan mempertegas penugasan kepala desa sebagai pemimpin proyek lokal. Aturan baru ini juga bakal melanggengkan eksistensi bandit-bandit perdesaan, seperti yang diuraikan dalam penelitian Suhartono W. Pranoto pada studi historis 1950-1942. Bedanya, dulu masyarakat yang diperas, sekarang anggaran negara yang dikuras.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.