Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Setengah Hati Membiayai Transisi Energi

Perbankan nasional masih senang mengucurkan kredit ke energi kotor. Bertolak belakang dengan tren keuangan global.

10 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank masih setengah hati mengalihkan pembiayaan dari energi kotor ke proyek energi ramah lingkungan.

  • Kucuran kredit untuk proyek energi kotor tidak sinkron dengan komitmen transisi energi.

  • Ketergantungan pada energi fosil hanya akan menjadi bom waktu di masa depan.

TRANSISI menuju energi bersih masih sebatas basa-basi. Kucuran kredit dari perbankan nasional untuk proyek energi fosil menunjukkan bahwa sektor keuangan masih setengah hati mengalihkan pembiayaan dari energi kotor ke proyek energi ramah lingkungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum lama ini, lima bank nasional membiayai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara milik PT Adaro Energy Indonesia. Nilainya US$ 1,75 miliar atau setara dengan Rp 26,4 triliun. PLTU batu bara ini akan memasok listrik ke smelter aluminium di Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kucuran kredit untuk proyek energi kotor tidak sinkron dengan komitmen transisi energi yang didengung-dengungkan pemerintahan Joko Widodo. Apalagi Indonesia punya komitmen mempensiunkan dini pembangkit batu bara pada 2050 serta mencapai netral karbon pada 2060. 

Bila ingin mencapai target bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dan 34 persen pada 2030, pemerintah semestinya sudah mengambil langkah konkret sejak Paris Agreement diteken pada 2016. Termasuk dalam menyusun peta jalan transisi energi serta memaksa perbankan membiayai proyek energi ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Apalagi proyek transisi energi butuh dana sangat besar. Presiden Jokowi pernah menyatakan butuh dana sekitar US$ 1 triliun untuk mencapai netral karbon pada 2060. Ongkos itu tidak mungkin ditanggung pemerintah sendirian. Indonesia juga membutuhkan uluran dana dari negara-negara industri maju. Maka proposal transisi energi yang matang perlu dipersiapkan. 

Pada saat yang sama, Indonesia harus menunjukkan keseriusan dalam menginisiasi program transisi energi. Alih-alih mengucurkan pembiayaan proyek energi bersih, perbankan nasional malah jorjoran mengucurkan pinjaman buat perusahaan batu bara. Sepanjang 2015-2021, total pinjaman langsung yang dikucurkan Mandiri, BCA, BRI, dan BNI mencapai US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 53,1 triliun. Keempat bank itu pun memberikan dukungan finansial bagi perusahaan batu bara agar bisa memperoleh kredit dari bank dan investor lain.

Penyaluran kredit ke pembangkit batu bara bertolak belakang dengan tren keuangan dunia. Saat ini sejumlah bank global sudah menghentikan pembiayaan ke proyek batu bara. Tak satu pun bank lokal masuk daftar keanggotaan aliansi perbankan emisi karbon netral (Net Zero Banking Alliance). Untuk urusan ini, kita tertinggal dari negara tetangga, seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang, dan Malaysia.

Sikap setengah hati menjauhi batu bara tak lepas dari kebijakan pemerintah yang kurang serius mendorong transisi energi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, tak melarang bank menyalurkan pinjaman ke sektor energi yang tak ramah lingkungan. Bahkan, dalam Taksonomi Hijau yang dirilis pada Januari 2022, OJK memasukkan batu bara ke dalam kelompok berlabel kuning, yang artinya tidak membahayakan lingkungan. Wajar bila komitmen perbankan paling banter hanya mengurangi eksposur, bukan menyetop pemberian kredit ke sektor batu bara sebagai komoditas fosil utama.

Di sisi lain, seretnya arus pendanaan untuk proyek energi bersih tak lepas dari terbatasnya pekerjaan energi terbarukan, yang hanya tumbuh 400-500 megawatt per tahun. Bandingkan dengan PLTU batu bara yang tumbuh 10 kali lipatnya. Itu sebabnya, klaim penyaluran kredit ke energi terbarukan dari perbankan nasional tak mewakili kemajuan pembiayaan hijau. 

Jika tak ada gebrakan, target transisi energi bakal makin sulit tercapai dan Indonesia akan semakin tertinggal. Hingga akhir tahun lalu, realisasi porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru 12,3 persen. Sisanya masih didominasi energi kotor.

Ketergantungan pada energi fosil hanya akan menjadi bom waktu di masa depan. Emisi karbon yang terus meningkat akan menyebabkan efek rumah kaca berlebihan dan merusak lingkungan.     

***

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus