Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prevalensi konsumen rokok di Indonesia masih mengkhawatirkan.
Survei terbaru UI menunjukkan dampak merokok terhadap rumah tangga.
Menaikkan cukai hasil tembakau menjadi hal urgen.
Azizon dan Irfani Fithria
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prevalensi masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi rokok masih mengkhawatirkan. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020 menunjukkan bahwa prevalensi merokok laki-laki dewasa di Indonesia sebesar 62,9 persen—salah satu yang tertinggi di dunia. WHO memperkirakan sebanyak 225.700 jiwa setiap tahun melayang akibat konsumsi rokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan merokok. Februari lalu, pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 12,5 persen untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru-baru ini, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia melakukan survei mengenai dampak perilaku merokok suami terhadap kesejahteraan keluarga pada masa pandemi Covid-19. Kajian ini melihat dampak perilaku tersebut dari perspektif istri (pasangan perokok) sebagai perokok pasif yang terkena dampak langsung dari kebiasaan merokok suami di rumah. Selain itu, dampak perilaku merokok terhadap kesejahteraan keluarga dilihat secara holistik dari tiga aspek utama, yaitu kesehatan, materi (ekonomi), psikologis, dan lingkungan. Survei ini dilakukan secara daring dari 20 Agustus hingga 6 September 2021 dan menjaring 779 responden dengan bermacam latar belakang sosio-demografi dari berbagai daerah di Indonesia.
Kajian tersebut kembali menegaskan bahwa perilaku merokok suami memang berdampak negatif bagi kesehatan anggota keluarga. Sebagian responden (49 persen) mengaku bahwa perilaku merokok suami berdampak buruk bagi kesehatan mereka, anak-anak, dan anggota keluarga lain. Lebih dari separuh responden (56 persen) merasa bahwa kualitas udara dan lingkungan rumah tercemar akibat perilaku merokok. Ruangan terasa lebih lembap dan timbulnya bau yang tidak sedap merupakan keluhan umum yang disampaikan oleh para istri. Tidak sedikit responden (17 persen) juga mengeluhkan gangguan pernapasan akibat perilaku merokok suami di rumah. Sayangnya, sekitar 75 persen suami mereka juga sering merokok di dekat anggota keluarga lain, termasuk anak-anak dan orang tua.
Perilaku merokok itu juga berdampak negatif terhadap kesejahteraan keluarga. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden (63 persen) merasa bahwa pengeluaran suami untuk membeli rokok cukup besar dan mengurangi jatah untuk keperluan rumah tangga lain. Akibatnya, sekitar 37 persen responden kesulitan mengatur keuangan dan 46 persen responden merasa pengeluaran rokok telah mempengaruhi kualitas hidup keluarga.
Dari aspek psikologis, mayoritas responden (89 persen) sangat menginginkan suaminya berhenti merokok dan sekitar dua pertiga (65 persen) responden merasa tidak tenang sekaligus tidak bahagia akan kebiasaan merokok suaminya. Hampir semua responden (89 persen) selalu dibayangi kekhawatiran jika anak-anak akan ikut merokok mengikuti kebiasaan suami. Kekhawatiran ini tentu cukup beralasan, mengingat anak-anak yang sudah terbiasa merokok sejak dini berpotensi menjadi perokok berat pada masa mendatang dan menciptakan siklus perokok baru yang sulit diputus.
Berdasarkan hasil temuan ini, jelas terlihat bahwa perilaku merokok tidak hanya merugikan dari aspek kesehatan saja, tapi juga mempengaruhi aspek ekonomi dan psikologis. Karena itu, peringatan yang selalu menyatakan bahwa “merokok membunuhmu” barangkali belum cukup dan masih perlu disempurnakan. Pusat Kajian Jaminan Sosial merekomendasikan kampanye peringatan baru, yaitu “merokok tidak hanya membunuhmu, tapi juga membunuh orang yang kamu sayangi” serta “merokok tidak hanya menghancurkan badan, tapi juga menghancurkan harapan dan perasaan”. Langkah ini tentunya harus dibarengi dengan kebijakan pendukung lain agar lebih efektif.
Kebijakan Pendukung
Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok melalui kenaikan cukai hasil tembakau merupakan salah satu langkah efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di kalangan anak-anak, remaja, dan orang-orang dengan status sosial-ekonomi rendah. Namun perlu disadari bahwa kenaikan cukai tidak langsung mengurangi jumlah konsumsi rokok atau menurunkan prevalensi merokok. Dengan kisaran harga yang masih bervariasi, para perokok memiliki kemungkinan untuk beralih ke pilihan rokok yang lebih ekonomis, bahkan mereka dapat membeli rokok secara eceran/ketengan. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial dan CISDI.
Hasil survei CISDI menunjukkan bahwa sebanyak 24 persen responden perokok akan beralih ke rokok yang lebih ekonomis demi mempertahankan kebiasaan merokoknya. Selain itu, fleksibilitas pendapatan perokok yang sudah pada tahap adiktif dan proporsinya cukup besar ternyata tidak akan berpengaruh terhadap konsumsi rokok. Hal ini berbeda dengan para perokok rasional yang sangat sensitif terhadap perubahan harga karena mereka akan mengurangi konsumsi rokok ketika terjadi kenaikan harga rokok atau penurunan anggaran rumah tangga.
Hasil survei Pusat Kajian Jaminan Sosial juga menunjukkan hal senada. Mayoritas responden menyatakan bahwa suaminya akan beralih membeli rokok yang lebih murah. Ironisnya lagi, fenomena ini kebanyakan terjadi pada kelompok responden berpendapatan rendah dan kelompok responden yang menyatakan bahwa kondisi keuangannya selama masa pandemi kurang mencukupi.
Karena itu, kombinasi berbagai kebijakan dan usaha yang berkesinambungan harus terus diupayakan dalam mengendalikan konsumsi rokok. Optimalisasi kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau juga harus dilengkapi dengan kebijakan pendukung lain, seperti menaikkan harga jual eceran minimum secara konsisten setiap tahun dan penyederhanaan strata tarif cukai hasil tembakau. Pemberantasan produksi rokok ilegal juga harus secara masif dilakukan untuk menghindari kebocoran penerimaan negara.
Yang tak kalah penting, kampanye dalam memberikan edukasi dan literasi mengenai bahaya rokok juga harus dilakukan, mengingat masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hal ini. Layanan pendampingan bagi mereka yang ingin berhenti merokok pun perlu dilakukan sebagai upaya menurunkan prevalensi perokok dewasa dan memutus mata rantai perokok bagi generasi mendatang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo