Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH tiga tahun, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kembali menembus 16 ribu. Terakhir kali nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berada di angka ini terjadi pada 23 Maret 2020, bulan pertama virus corona masuk ke Indonesia. Setelah itu, nilai tukar rupiah kembali turun seiring dengan naiknya ekspor komoditas pada masa pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penutupan perdagangan pada 24 Oktober 2023, nilai tukar rupiah mencapai 16.022. Perang Hamas-Israel, kenaikan suku bunga bank sentral Amerika (The Fed), serta melemahnya ekonomi Cina membuat rupiah kian loyo terhadap dolar Amerika, mata uang dunia yang menjadi acuan dan alat tukar global serta aset simpanan jangka panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mencegah nilai rupiah terus merosot, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) menjadi 6 persen. Ini cara bank sentral mencegah modal luar negeri kembali ke Amerika karena mengejar suku bunga tinggi The Fed. Karena Indonesia mengandalkan modal asing untuk menghidupkan ekonomi, arus balik modal itu akan memperburuk nilai tukar rupiah.
Masalahnya, kenaikan suku bunga BI menjadi pil pahit bagi pertumbuhan ekonomi. Menaikkan suku bunga berarti mendorong kenaikan bunga kredit sehingga bisnis akan lesu. Suku bunga tinggi juga membuat perbankan memilih menyimpan dananya di surat berharga negara ketimbang menyalurkannya kepada debitor untuk memoles ekonomi.
Baca juga: Terdesak Mengerem Pelemahan Rupiah
Meskipun dua pilihan itu sama sulit, menaikkan suku bunga adalah pilihan paling rasional. Jika nilai rupiah terus melemah, ekonomi akan makin babak belur. Harga bahan bakar minyak akan melambung karena bahan bakunya minyak impor yang dibeli dengan dolar. Harga BBM yang naik berujung pada kenaikan barang konsumsi.
Risiko kenaikan barang konsumsi adalah inflasi. Dalam situasi global yang dirundung perang dan konflik, inflasi bisa berujung pada stagflasi—kenaikan harga-harga yang dibarengi turunnya pertumbuhan ekonomi. Sebab, ekspor komoditas kita yang menjadi bantalan neraca perdagangan akan semakin merosot, terutama ke Cina.
Sepanjang Januari-Agustus 2023, ekspor Indonesia ke Cina sebanyak 25 persen. Sementara itu, nilai barang impor dari Cina sebesar 32 persen. Timpangnya nilai ekspor-impor itu membuat neraca perdagangan Indonesia minus 30,26 persen pada periode tersebut dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Penurunan ekspor bahkan jauh lebih tinggi, minus 11,85 persen, dibanding turunnya impor sebesar minus 7,83 persen. Anjloknya nilai ekspor itu disebabkan oleh ekspor batu bara dan minyak sawit mentah kita yang anjlok. Padahal dua komoditas inilah yang menjadi penghasil dolar buat Indonesia yang membuat neraca perdagangan kita menjadi positif.
Baca juga: Terpukul Pelemahan Rupiah
Keadaan ekonomi Indonesia ini terjadi karena ekonomi kita bertahun-tahun bersandar pada perdagangan komoditas yang bergantung pada ekonomi negara lain. Maka, ketika perdagangan global lesu, dampaknya langsung terasa. Indonesia tak serius menggarap industri manufaktur dan pengolahan yang menciptakan banyak lapangan kerja sehingga memberikan efek pengganda pada ekonomi.
Namun penghiliran sumber daya mineral pun terjadi secara artifisial. Keringanan pajak untuk industri hilir hanya menguntungkan segelintir investor. Industri penghiliran tak menghasilkan efek pengganda bagi terciptanya industri lain yang mendorong lapangan kerja makin banyak dan beragam. Penghiliran belum menyatukan eksploitasi bahan baku di hulu hingga menjadi barang jadi.
Maka, dengan terbatasnya instrumen untuk mencegah nilai rupiah makin merosot, keadaan politik menjadi penting. Manuver politik penguasa menjelang pemilihan presiden yang tak masuk akal akan kian merugikan ekonomi Indonesia. Cawe-cawe Presiden Joko Widodo dalam menentukan penggantinya yang merusak demokrasi bisa berakhir mengerikan pada ekonomi Indonesia yang sedang lesu darah ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo