Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA pada duduk dan menggeletak di emperan gerbang masjid
besar di alun-alun itu. Mereka adalah Pak Ngalibasah Sontorejo,
Mbok Ngali (sering juga dipanggil Mbok Sonto), anak-anak mereka:
Bimo (7 tahun), Putri Balkis (5« tahun), Seto (4 tahun), Suharto
(2« tahun), dan Siti Rabingu (1 tahun kurang 1 bulan), dan
embah.
Pak Ngali duduk bersandar pada tembok emperan yang kukuh itu
sebentar-sebentar menyedot rokok Djarum dan mengibaskan koran
bekas pada anggota keluarganya yang pada bergeletakan di lantai
hanya dialas dengan kertas-kertas koran yang sudah pada robek.
Lalat, suara orang yang lalu-lalang dan comberan yang terletak
tidak terlalu jauh dari mereka agaknya tidak mengganggu
kenikmatan mereka tidur berdesakan. Hanya embah yang duduk, tak
kunjung berhenti mengunyah sirih Sekaten matanya menatap ke arah
pendopo masjid.
Sebentar-sebentar Pak Ngali memandangi anak-anak dan istrinya
yang dalam kelelapan tidur mereka tidak mempedulikan lagi mainan
kodok, ular, wayang kardus dan telur-telur merah yang berantakan
di sela mereka. Kadang-kadang saja pandangannya bertatapan
sebentar dengan ibunya, si embah, yang meskipun terus-menerus
mengunyah sirih Sekaten (yang konon sanggup bikin awet muda),
malam itu kelihatan sangatlah abadi tuanya . . .
Pasangan gamelan sekati baru saja sejam sebelumnya diangkat
kembali masuk ke dalam keraton. Para priyagung diiring prajurit
keraton dengan tombak, bedil, tambur, trompet dan seruling telah
menjemput sepasang gamelan itu dan mengiringnya masuk kembali ke
keraton lewat alun-alun.
Alangkah agung dan khidmat dan hebat, pikir Pak Ngali. Ia merasa
beruntung tahun ini dapat turun ke kota membawa seluruh
keluarganya menyaksikan semuanya itu. Tahun yang lalu dia sial
panennya tidak menjadi, utangnya menumpuk mana Pak Lurah terus
saja memperingatkannya. Tahun ini meskipun utang itu masih
banyak, sudah dapat diangsurnya dan panen jauh lebih baik
daripada tahun yang lalu.
Kebetulan pula ada kemenakan tetangganya yang dapat mengompreng
truk kabupaten untuk dipakai beramai-ramai patungan lima
keluarga turun ke kota. Yah, kalau sedang rezeki, ada saja
jalannya, pikir Pak Ngali. Tahun yang lalu siapa yang menyana
siapa mengimpi bisa rame-rame sekeluarga turun ke kota nonton
Sekaten.
Dan besok seluruh keluarga akan dikerahkannya ikut mengerumuni
gunungan-makanan yang turun dari keraton Ngalap berkah, merebut
berkah dari ngarso dalem kanjeng Sultan. Embah sudah wanti-wanti
berpesan sebelum meninggal minta diberi kesempatan untuk sekali
lagi bisa ngalap berkah itu. Sekarang mereka sekeluarga itu
berkumpul di emperan gerbang masjid itu.
***
Ada berapa Pak Ngali, Mbok Ngali, embah dan anak-anaknya yang
turun ke kota untuk menonton Sekaten sekali setahun begitu?
Beratus, beribu, berpuluh-ribu. Mereka yang turun digiring oleh
tradisi yang mereka terima dan warisi dari orang tua mereka yang
pada gilirannya mewarisinya pula dari orang tuanya.
Tidak seorang pun tahu secara pasti hingga berapa generasi ke
belakang "skenario" tradisi itu mula-mula diciptakn. Skenario
tradisi? Adakah itu? Skenario yang seutuh film konvensional
Hollywood tahun empat-puluhan?
Tidak. Saya kira tradisi tidak pernah berjalan menurut jalur
skenario yang demikian. Ia, skenario itu, saya duga berjalan
lebih menurut gaya skenario "urakan" a la neo-realisme Italia
dari Rosselini dan Vittorio de Sicca dulu. Yakni skenario yang
mengambil bentuk sambil berjalan begitu. Seperti konon waktu de
Sicca membuat filmnya yang mashur Pencuri Sepeda itu. Film itu
dibikin hanya berdasar satu plot yang garis besar dan lentur
sekali. Kemudian film itu "membentuk sendiri" menurut sikon
yang ditemui de Sicca sebagai sutradara dan penulis skenario.
Tradisi Sekaten bagaimana? Siapa yang menulis skenario Sekaten
sebagai dakwah Islam a la Sunan Kalijogo? Siapa pula yang
kemudian menggabungkannya dan membumbuinya dengan tradisi ngalap
berkah gunungan makanan dari raja-raja Jawa itu? Tetapi siapa
pula yang dapat menceritakan secara pasti bahwa gunungan makanan
yang terdiri dari aneka rupa makanan hasil bumi itu ditempelkan
kemudian bersama dengan dakwah Maulid Nabi Muhammad S.A.W.
menurut gaya Sunan Kalijogo.
Apakah bukan sebaliknya, di mana upacara gunungan makanan itu
justru kelanjutan dari upacara masyarakat pertanian dahulu kala
yang mengalami hogere optrekking ke tingkat keraton yang
kemudian disesuaikan dengan datangnya Islam di Jawa'? Jika
begitu skenario Sekaten itu adalah skenario hersama antara raja
dan ulama dalam rangka menjaga ekuilibrium baru sesudah Islam
masuk? Wallahuallam bissawab . . .
Apa pun itu Sekaten masih hidup dengan ramai dan sehatnya. Orang
masih terus berjubel datang memenuhi alun-alun memenuhl halaman
dan emperan gerbang masjid. Orang-orang dan anak-anak masih
tetap lalu-lalang, jajan, mengunyah sirih dan berhenti sejenak
mendengarkan suara gamelan kiai dan Nyai Sekati yang pelan dan
khidmat iramanya itu.
Sementara di serambi masjid bergantian orang berkhotbah tentang
hikmah hari lahir Nabi. Seperti pertunjukan wayang kulit di desa
mereka, orang-orang itu menghayati semua itu dalam satu
keseluruhan jagad.
Mungkin bukanlah satu kebctulan pula bila seorang Ngalibasah
Sontorejo yang beranak Bimo, Putri Balkis dan sebagainya itu
bernama demikian "sinkretis" dan merupakan pendukung yang taat
dan gembira dari budaya yang demikian. Sementara di desanya
sendiri jagad itu telah berbau pestisida, insektisida, urea,
Kredit Bimas, KUD, BUUD, KB, dan yang terakhir koran masuk desa
. . .
***
Keesokan harinya gunungan makanan itu diperebutkan di halaman
masjid. Pak Ngali -- untuk kesekian kali -- merasa beruntung
dapat merebut beberapa potong makanan dari gunungan itu.
Seorang turis bule -- yang jelas bukan urusannya -- maunya
ikut-ikutan ngalap berkah dengan menyodok Mbok Ngali. Karuan
saja Pak Ngali gusar. Dengan sekali sodok, tangan dan bahu
petaninya yang kukuh itu menghalau sang turis bule. Secuwil
terong dan kacang panjang jatuh di tangan Pak Ngali yang
berseri-seri mukanya penuh kebahagiaan.
Dalam perjalanan pulang, di atas truk, di antara keluarganya dan
tetangga-tetangganya yang terkantuk-kantuk di bawah sinar
matahari yang terik, transistor salah seorang penumpang itu
mengeluarkan lagu gending ciptaan K(anjeng) R(aden) T(umenggung)
Wasitodipuro: modernisasi desa, modernisasi desa-a-aaa . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo