Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dana Cukai Tembakau untuk Kesejahteraan Petani

Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia menyoroti belum optimalnya penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dalam menyokong kesejahteraan petani tembakau.

11 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cukai hasil tembakau masih menjadi sumber pemasukan penting.

  • Dana dari cukai ini dapat digunakan untuk membantu petani beralih tanam.

  • Pemerintah daerah perlu aktif membantu petani dengan dana ini.

Suci Puspita Ratih
Peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia serta dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Malang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kevin Andrean
Peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cukai hasil tembakau (CHT), termasuk cukai rokok, masih menjadi sumber pemasukan penting pemerintah. Penerimaan kepabeanan dan cukai hingga 19 April 2022 mencapai Rp 93,95 triliun, tumbuh 32,99 persen dibanding pada tahun lalu (year-on-year). Pemasukan terbesar berasal dari CHT yang porsinya 69,85 persen.

Setiap tahun, pemerintah juga menganggarkan CHT untuk dikembalikan ke daerah penghasil tembakau dalam bentuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) dan ke daerah lain di provinsi yang sama sesuai dengan pemerataan. Anggaran tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan oleh daerah masing-masing untuk berbagai program kesejahteraan masyarakat, terutama pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19. Tentu, manfaat ini tidak termasuk bagi para petani tembakau.

Penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJSUI) pada 2020 menemukan bahwa petani tembakau belum sejahtera, terutama petani swadaya. Salah satunya akibat ketidakberdayaan petani dalam rantai tata niaga tembakau. Temuan ini juga dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gumilang Aryo Sahadewo dan rekan (2016, 2021) yang mengungkapkan bahwa pendapatan petani tembakau cenderung lebih bergejolak daripada pendapatan petani non-tembakau. Hal ini juga diamini oleh Hendratmojo Bagus Hudoro, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian, yang menyatakan tata niaga tembakau memang belum berpihak pada petani.

Keistimewaan petani swadaya seharusnya terletak pada keleluasaan mereka dalam membuat keputusan yang ekonomis secara independen. Ironisnya, masih banyak petani yang merasa tidak mempunyai pilihan selain terus menanam tembakau sambil menelan rugi. Satu faktor yang mendasar dari petani adalah kurangnya modal untuk menanam tanaman lain. Adapun faktor dari luar petani, antara lain, adalah kondisi tanah yang kering dan kurangnya sistem irigasi yang membatasi pilihan tanam. Selain itu, kurangnya informasi aktual mengenai kondisi dan potensi keuntungan dalam pasar-pasar alternatif menyebabkan banyak petani tembakau yang bahkan tidak terpikir untuk beralih meskipun hal itu mungkin lebih menguntungkan bagi mereka.

Pemerintah pusat sebenarnya telah merancang semacam opsi untuk exit strategy bagi petani tembakau, terutama untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Kehadiran pemerintah sebagai enabler (pendorong) diperlukan untuk mengembalikan kesejahteraan petani swadaya dengan memberikan kesempatan dan kemampuan untuk memilih. Bantuan dari pemerintah, seperti dana bagi hasil cukai hasil tembakau, dapat membuka alternatif-alternatif yang saat ini masih tidak dapat diakses para petani.

Contohnya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBHCHT, dana itu sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk program bantuan sarana alih tanam serta bahkan sebagai bantuan modal usaha. Di samping itu, dana ini dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, seperti sistem irigasi di daerah yang terlalu kering. Semua hal ini dirancang pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan agar petani tembakau memiliki pilihan dan tidak perlu merasa terjepit atau terlarut dalam kerugian.

Pemerintah pusat telah memberikan sinyal positif dengan membuat landasan hukum untuk penggunaan dana tersebut sebagai sarana alih tanam atau diversifikasi. Sebagai penyalur manfaat dan pembuat anggaran, pemerintah daerah menyambut baik gagasan ini. Demikian juga sebagai penerima manfaat, banyak petani swadaya yang menyambut baik.

Sayangnya, belum semua daerah memanfaatkan kesempatan ini meskipun sudah "direstui" pemerintah pusat. Berdasarkan laporan DBHCHT pada 2021, pemanfaatan dana ini untuk kegiatan alih tanam atau diversifikasi hanya 2,66 persen dari keseluruhan alokasi secara nasional. Beberapa perwakilan pemerintah daerah yang kami temui mengaku masih menanti aturan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat untuk program baru tersebut.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menegaskan bahwa dinas setempat cukup mengacu pada peraturan Menteri Keuangan tersebut. Bahkan, jika peraturan yang sudah ada dinilai masih belum cukup detail, aturan pelaksanaan lebih detail dapat dibuat melalui peraturan kepala daerah. Baru-baru ini bahkan Kementerian Dalam Negeri memberikan petunjuk bahwa dana itu tidak terlepas dari pengelolaan APBD. Hal itu seharusnya telah memberikan otonomi kepada pemerintah daerah agar dapat semakin luwes dalam merancang program-program untuk para petani yang ingin beralih tanam.

Beberapa pemerintah daerah juga mengaku masih menunggu proposal dari petani agar program yang dirancang sesuai dengan aspirasi petani. Namun banyak petani yang belum memanfaatkan kesempatan ini. Bahkan, tidak sedikit juga petani yang tidak tahu bahwa mereka dapat menyampaikan kebutuhannya secara langsung.

Menurut kami, justru dalam situasi genting seperti inilah pemerintah daerah dapat hadir untuk petani tembakau swadaya. Langkah pertama tentu adalah membangun kembali jalur komunikasi yang efisien. Prosedur yang mengharuskan petani menempuh langkah rumit untuk memohon bantuan, jika dinilai kurang efektif, perlu diganti dengan peninjauan lapangan, dialog aktif, atau diskusi terarah. Lalu, perlu ada sosialisasi manfaat dana ini bagi petani, termasuk manfaatnya sebagai bantuan alih tanam.

Dengan adanya komunikasi dan kerja sama yang erat antara pemerintah daerah dan petani, akan muncul solusi-solusi tajam untuk mengatasi hambatan-hambatan diversifikasi yang tengah menjepit para petani tembakau. Kendala modal dapat dibantu langsung melalui dana ini. Kendala kekeringan dapat diatasi dengan sistem irigasi, yang juga dapat dibantu melalui dana ini. Informasi mengenai pasar-pasar alternatif pun dapat diadakan bagi para petani agar mereka dapat mengambil keputusan secara mandiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Adanya kebutuhan para petani serta dukungan dari dana ini menjadi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk berlomba membuat terobosan, seperti membuka opsi-opsi yang sebelumnya tidak dapat diakses para petani.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus