Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Laporan awal dana kampanye para peserta Pemilu 2024 belum transparan.
Laporan itu juga belum menggambarkan siapa pemberi dana dan penggunaan dananya.
Ada indikasi penggunaan dana kampanye yang belum masuk ke dalam laporan tersebut.
Yassar Aulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan bahwa Pemilihan Umum 2024 akan terselenggara dengan penuh integritas tampaknya masih sulit diraih. Ini tampak, misalnya, dari laporan awal dana kampanye (LADK) sejumlah partai politik yang baru saja diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin, 15 Januari lalu, yang belum mencerminkan transparansi mereka.
Meski telah melewati tenggat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Pemilu untuk melaporkan LADK, tidak satu pun dari laporan 18 partai itu yang dapat dinyatakan lengkap dan sesuai dengan ketentuan. Meskipun ada ancaman diskualifikasi, kuat sekali indikasi bahwa partai-partai enggan melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye mereka secara jujur.
Contoh paling ekstrem, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melaporkan total pengeluaran mereka hanya Rp 180 ribu dari seluruh penerimaan yang mencapai Rp 2 miliar. Belakangan PSI mengoreksi jumlah pengeluaran itu menjadi sekitar Rp 24 miliar dan pemasukan menjadi Rp 33 miliar. Namun KPU tetap menyatakan laporan itu masih belum lengkap dan sesuai dengan aturan.
LADK tiga pasangan calon presiden-wakil presiden juga demikian. Hasil penelusuran Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa tidak ada perkembangan signifikan dalam hal transparansi pelaporan dari ketiga pasangan per 27 Desember 2023.
Pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melaporkan telah memperoleh dana kampanye sebesar Rp 31,4 miliar lebih yang komposisinya didominasi sumbangan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung dalam bentuk jasa sebesar Rp 28,8 miliar lebih. Ganjar Pranowo-Mahfud Md. mencatatkan perolehan dana kampanye sebesar Rp 2,97 miliar lebih dengan sumber penerimaan terbesar berasal dari sumbangan partai politik atau gabungan partai politik pengusung dalam bentuk uang sebesar Rp 2,95 miliar. Sedangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sama sekali tidak mencantumkan besaran dana kampanye yang diterima alias nol rupiah.
Laporan di atas patut diragukan kebenarannya apabila dilihat setidaknya dari dua aspek. Pertama, ketiga pasangan calon nyatanya telah melakukan sejumlah kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye jauh sebelum tahapan pendaftaran calon presiden-wakil presiden, dari spanduk kampanye hingga pertemuan langsung dengan masyarakat di berbagai daerah. Besar kemungkinan pendanaannya bersumber dari pembiayaan masing-masing calon, partai politik, ataupun sumber lainnya.
Kedua, Perludem menemukan bahwa dari penelusuran perpustakaan iklan Meta, pemilik platform media sosial, seperti Facebook dan Instagram, ketiga pasangan calon terpantau menggunakan fitur iklan berbayar untuk berkampanye. Namun dana yang dikeluarkan untuk iklan ini tidak tecermin dalam LADK.
Di platform yang dikelola Meta, pasangan Ganjar-Mahfud terpantau telah memasang iklan 6.369 kali dengan biaya sekitar Rp 829 juta. Iklan Prabowo-Gibran sebanyak 1.300 kali dengan ongkos hampir Rp 779 juta. Adapun Anies-Muhaimin beriklan sebanyak 1.394 kali dengan biaya yang dikeluarkan lebih dari Rp 444 juta. Mayoritas pengiklan mereka berasal dari akun relawan pendukung sehingga sepatutnya pengeluarannya juga dicatat dalam sumber penerimaan dana kampanye, khususnya pada kategori sumbangan dari pihak lain.
Keengganan untuk transparan dalam melaporkan dana kampanye ini sudah menjadi pola apabila melihat Pemilu 2019 dan pemilihan kepala daerah 2020. Sebagai contoh, berdasarkan temuan ICW, pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amien dalam pemilihan presiden 2019 melaporkan telah menerima sumbangan dari perseorangan sebanyak 131 kali dengan jumlah total Rp 121.413.260. Sebanyak 80 persen dari sumbangan itu tidak disertai dengan bukti. Adapun calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat itu mencatatkan mayoritas dana kampanye mereka berasal dari uang masing-masing dengan persentase Sandiaga sebanyak 73,1 persen dan Prabowo 24,1 persen. Prabowo-Sandiaga sama sekali tidak mencantumkan adanya sumbangan dari badan usaha dalam laporan penerimaan sumbangan dana kampanye mereka. Hal tersebut patut diragukan, mengingat komposisi tim pemenangan hingga pendukung Prabowo-Sandiaga banyak yang berlatar belakang pengusaha.
Masalah ketidaktransparanan laporan dana kampanye ini bukanlah hal baru. Meski telah berlangsung lima kali pemilu setelah era reformasi, masalah tersebut belum juga dibenahi secara serius. Padahal salah satu penyebab menjamurnya korupsi politik adalah terlampau mahalnya biaya politik.
Sebagai ilustrasi, supaya bisa tembus ke Senayan, seorang calon legislator setidaknya perlu ongkos Rp 1-5 miliar. Modal yang besar ini tecermin pada corak demokrasi kita yang sangat transaksional atau lazim digambarkan sebagai relasi patron-klien antara politikus dan pemodal. Selain mengaburkan tali mandat dengan konstituen selaku pemegang kedaulatan tertinggi, tidak jarang “utang” kepada patron tadi “dibayar” dengan cara mengkorupsi anggaran publik hingga bahkan produk legislasi.
Kontrak-kontrak haram politik ini sebetulnya dapat diendus dengan menelusuri dari mana para politikus dan partainya mendapat pendanaan. Tapi hal ini hampir mustahil dilakukan karena pencatatannya selama ini dikaburkan atau bahkan tidak dituangkan dalam laporan dana kampanye yang disajikan ke publik. Tidak mengherankan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaporkan 319 anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka kasus korupsi selama 2004-2022.
Temuan fantastis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dengan pemilu yang belum lama ini dirilis semakin menegaskan pentingnya transparansi tersebut. PPAT menemukan tingginya nilai transaksi janggal dan dugaan aliran dana kejahatan, seperti pertambangan ilegal, perdagangan satwa liar, korupsi, serta pencucian uang, ke dalam sirkulasi pendanaan kampanye calon anggota legislatif.
Kritik perlu pula dilayangkan kepada KPU. Sebab, formulir laporan yang disediakan KPU untuk dikonsumsi publik memang nyatanya tidak menampilkan informasi yang rinci, baik mengenai nama penyumbang hingga kluster informasi spesifik yang menggambarkan peruntukan detail dari setiap pengeluaran para peserta pemilu. Ada mandat konstitusional kepada KPU untuk menjamin bahwa seluruh tahapan pemilu berlangsung dengan betul-betul akuntabel, khususnya dalam hal sumber modal para kontestan.
Dengan minimnya kepercayaan terhadap KPU akibat sejumlah kontroversi yang muncul sejak awal tahapan pemilu, menjadi urgen mendesak para komisioner beserta jajarannya bahwa transparansi pendanaan kampanye bukan sekadar perkara tertib administrasi. Dengan mengetahui siapa saja yang sebetulnya mendanai para politikus, masyarakat sipil dapat menyingkap tabir gelap ruang interaksi elite yang selama ini menggadaikan kepentingan publik demi barter koruptif kekuasaan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo