Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Efek Perputaran Dana Pemilu pada Ekonomi

Pemilu 2024 makin dekat, perputaran uang makin cepat. Dana pemilu punya efek ekonomi sekaligus risiko pada demokrasi. 

11 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aliran uang akan makin cepat menjelang Pemilu 2024.

  • Dana pemilu mengalir melalui berbagai sektor usaha hingga serangan fajar.

  • Tingginya tingkat perputaran dana pemilu berisiko bagi demokrasi sekaligus memberi manfaat pada ekonomi.

INDONESIA akan memasuki masa paling krusial: Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Masyarakat akan memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, serta kepala daerah yang bakal menentukan arah kebijakan negara serta memikul beban pembangunan selama lima tahun mendatang. Tidak hanya menjadi ajang persaingan antarpartai dan para politikus, Pemilu 2024 juga menjadi pesta bagi masyarakat yang mengharapkan berkah ekonomi dari agenda lima tahunan ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika pemilu kian dekat, laju perputaran uang pun makin cepat. Dalam sistem demokrasi, uang tidak hanya menjadi alat tukar barang. Uang juga dapat menjadi mesin penggerak dukungan bagi partai politik ataupun kandidat yang sedang berburu elektabilitas. Sejak pendaftaran hingga hari pencoblosan, dorongan uang diperlukan agar proses tersebut berjalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uang ibarat darah yang mengalir ke semua kegiatan masyarakat. Pemilu membuat aliran "darah" itu makin kencang. Model kampanye politik di Indonesia yang masih mengandalkan tatap muka dan acara besar tak bisa dimungkiri akan berdampak pada perekonomian. Ada perputaran uang yang mengalir ke segala penjuru, dinikmati oleh konsumen dan pelaku usaha. 

Gambaran derasnya aliran uang di masa pemilu bisa dilihat dari dana kampanye. Sebagai contoh, pada 2019, Badan Pengawas Pemilu mencatat total dana kampanye partai politik peserta pemilu mencapai Rp 1,68 triliun. Partai politik dengan jumlah dana terbanyak saat itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yakni Rp 345 miliar. 

Untuk pemilihan presiden-wakil presiden, dana kampanye pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai Rp 601 miliar. Sedangkan lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, memiliki dana kampanye Rp 211,5 miliar. Tentu saja itu nilai yang dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Dana tersebut digunakan antara lain untuk pembuatan alat peraga kampanye seperti baliho dan pembiayaan iklan di televisi. Penerimaan didapatkan dari sumbangan perorangan, kelompok, dan badan usaha nonpemerintah.

Namun data Bank Indonesia menunjukkan peningkatan jumlah uang beredar yang sangat besar selama masa kampanye. Fakta ini didapati dalam tiga kali penyelenggaraan pemilu. Pada 2009, ketika pemilu diikuti 38 partai dan tiga pasang calon presiden-wakil presiden, ada tambahan jumlah uang beredar Rp 47,86 triliun. Pada Juni 2009, satu bulan sebelum pencoblosan, uang yang beredar bertambah Rp 25 triliun.  

Pada Pemilu 2014 yang diikuti 12 partai dan dua kandidat presiden-wakil presiden, tambahan uang beredar mencapai Rp 77 triliun dengan rincian Rp 38 triliun pada masa pemilihan anggota legislatif dan Rp 39 triliun pada pemilihan presiden. Ini belum menghitung anggaran pemilu yang mencapai Rp 15,62 triliun. Pada 2019, anggaran penyelenggaraan pemilu meningkat 61 persen menjadi Rp 25,6 triliun. Sedangkan tambahan jumlah uang beredar sebesar Rp 70 triliun. 

Pada 2024, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden diselenggarakan secara bersamaan dengan tambahan anggaran 431 persen menjadi Rp 110,4 triliun. Tambahan jumlah uang beredar diperkirakan mencapai Rp 80-85 triliun. Peredaran uang akan makin kencang pada Januari atau sebulan menjelang pemungutan suara. 

Data Bank Indonesia tersebut menjadi isyarat bahwa tambahan jumlah uang beredar selama masa kampanye jauh lebih besar dibanding dana kampanye yang dilaporkan kepada KPU. Artinya, ada dana yang tidak dilaporkan dengan jumlah sangat besar pada masa kampanye. Kemungkinan besar dana yang tidak tercatat itu mengalir dalam praktik politik uang seperti "serangan fajar" atau pemberian uang kepada calon pemilih di pagi hari menjelang pencoblosan hingga jual-beli suara antarcalon. Praktik semacam ini yang menimbulkan politik biaya tinggi di Indonesia.

Apa pun cara penggunaan uang tersebut, akan ada dampak ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Sebagai contoh, baik calon legislator maupun kandidat presiden-wakil presiden pasti memerlukan alat peraga kampanye. Maka pengusaha percetakan dan para karyawannya akan merasakan manfaat langsung ataupun tidak langsung.

Selain percetakan, banyak sektor bisnis yang menikmati aliran dana pemilu. Industri tekstil dan produk tekstil contohnya. Pada 2019, pertumbuhan nilai tambah dari sektor tekstil mencapai 15,35 persen. Pertumbuhan dua digit tersebut ditopang oleh peningkatan spektakuler pada triwulan I dan II 2019, masing-masing 18,98 persen dan 20,71 persen.

Dengan pendekatan tabel input-output, penulis menghitung dampak penambahan jumlah uang beredar dan dana pemilu. Dampak terhadap pembentukan produk domestik bruto nasional mencapai Rp 289,5 triliun dengan dampak terbesar dialami sektor percetakan dan tekstil. Sektor yang terkena dampak tidak langsung adalah perdagangan. Secara keseluruhan, pemilu legislator ataupun presiden-wakil presiden 2019 menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat Rp 288,2 triliun.

Inilah efek berganda penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan. Selain ada dana yang mengalir ke bisnis seputar pemilu, harus diakui bahwa aliran uang seperti dalam praktik serangan fajar membawa berkah bagi masyarakat berpendapatan rendah. Terlepas dari pelanggaran dan ketidakpatutannya, dalam jangka pendek dana ini ikut meningkatkan daya beli masyarakat. Masyarakat yang membutuhkan uang jelas mendapat manfaat, meski tak sebanding dengan ongkos sosial dan cela moralnya. 

Di luar besarnya dana dan efeknya pada ekonomi, aliran uang pemilu yang tak terkontrol menyimpan risiko besar. Praktik jual-beli suara, misalnya, jelas merupakan bentuk korupsi politik dan praktik yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Tidak hanya merusak integritas proses pemilihan, praktik ini juga menimbulkan ketidakadilan karena mempengaruhi kebebasan pemilih memilih berdasarkan preferensi dan keyakinan politik pribadi. Ini mengarah pada situasi tatkala keputusan pemilih lebih didasarkan pada keuntungan jangka pendek daripada pertimbangan kebijakan atau kualitas kandidat.

Dalam konteks ini, dana pemilu akan memiliki dampak jangka panjang pada tata kelola dan kebijakan publik. Ketika politik uang menjadi norma, ada risiko bahwa para pemimpin yang terpilih lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri atau kelompok yang mendanai mereka daripada kepentingan umum. Ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak efektif dan korup, juga mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan.

Meskipun sering sulit memberantas politik uang sepenuhnya, berbagai negara telah menerapkan undang-undang dan regulasi untuk memeranginya. Misalnya melalui pembatasan belanja kampanye, transparansi pendanaan politik, dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk mencegah praktik korupsi politik ini.

Karena itu, aliran dana pemilu bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, uang yang beredar mempercepat perputaran ekonomi yang bermanfaat dalam pembentukan nilai tambah hingga pendapatan masyarakat. Namun, dalam jangka panjang, kerusakan sistem demokrasi tentu tidak dapat ditukar dengan berapa pun besarnya tingkat perputaran uang yang terjadi. Maka sudah sepatutnya demokrasi ini kita jaga dengan menjalankan politik beretika dan menghormati hukum.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dua Sisi Perputaran Uang Pemilu"

Nailul Huda

Nailul Huda

Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Celios

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus