Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHADIRAN bank wakaf mikro di sejumlah pondok pesantren merupakan terobosan untuk meningkatkan inklusi keuangan. Lembaga keuangan mikro ini membuka akses bagi masyarakat perdesaan di sekitar pesantren yang membutuhkan permodalan, sesuatu yang sulit mereka peroleh dari perbankan konvensional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah rencana pemerintah menggenjot indeks inklusi keuangan, keberadaan bank wakaf mikro membawa angin segar. Sejak Oktober tahun lalu, 20 bank wakaf gencar mengucurkan pinjaman tanpa agunan. Modal usaha yang disalurkan Rp 1-3 juta dengan bunga ringan. Bila pengembalian lancar, peluang masyarakat untuk meningkatkan plafon terbuka lebar. Pelaku usaha kelas bawah bisa melebarkan usaha sambil memperluas pangsa pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kucuran modal dari bank wakaf bisa menjadi alternatif untuk menggerakkan roda perekonomian di tingkat lokal. Tak cuma menyalurkan pembiayaan, mereka melakukan pendampingan dan pelatihan. Setiap peminjam terbagi dalam kelompok dengan sistem tanggung renteng. Dengan jumlah nasabah yang kini lebih dari 4.000 orang, lembaga keuangan ini menjadi jantung bagi masyarakat prasejahtera keluar dari jerat kemiskinan. Kehadiran bank wakaf sekaligus untuk mengikis ketimpangan.
Bank wakaf mikro juga dapat memutus mata rantai rentenir yang gencar masuk ke perdesaan. Akses pembiayaan informal ini memberikan pinjaman dengan mudah dan cepat, tapi bunga mencekik. Tak mengherankan bila banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah tak kuat membayar cicilan, lalu gulung tikar sebelum usahanya berkembang.
Itu sebabnya rencana pemerintah menambah puluhan bank wakaf mikro sudah selayaknya disokong. Otoritas Jasa Keuangan menargetkan sebanyak 40 bank wakaf mikro berdiri pada tahun ini, dengan jumlah nasabah 3.000-4.000 orang. Akses permodalan berskala mikro bagi ribuan calon nasabah tersebut sejalan dengan ikhtiar pemerintah mencapai indeks inklusi keuangan sebesar 75 persen pada 2019.
Indeks inklusi keuangan di negeri ini memang belum optimal. Dua tahun lalu, tingkat inklusi keuangan baru mencapai 67,82 persen. Ini menunjukkan bahwa tidak sampai tiga perempat penduduk dewasa Indonesia memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan.
Rendahnya inklusi keuangan berkolerasi dengan indeks literasi keuangan, yang baru mencapai 29,66 persen. Artinya, dari setiap 100 penduduk, hanya sekitar 30 orang yang memiliki pengetahuan perihal berbagai produk dan layanan yang ditawarkan lembaga keuangan formal. Rendahnya pemahaman menyebabkan minat dan akses terhadap produk jasa keuangan berkurang. Selain pengetahuan, fasilitas infrastruktur yang tidak merata membatasi akses masyarakat terhadap produk jasa keuangan.
Kemampuan menjangkau layanan keuangan berdampak signifikan terhadap perputaran ekonomi seseorang. Studi Bank Dunia menunjukkan, bertambahnya 1 persen inklusi keuangan dapat menciptakan 85 ribu juta lapangan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan produk domestik bruto per kapita sebesar 0,03 persen. Dengan mengakses layanan investasi dan pembiayaan, masyarakat kurang mampu berpeluang menempuh pendidikan. Mereka diharapkan bisa mengelola risiko bila guncangan ekonomi sewaktu-waktu datang.
Di lapangan, Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh lepas tangan. Institusi pengawas bank dan lembaga keuangan ini harus memelototi setiap tahap pencairan pinjaman, dari pemberian izin operasional hingga saat bank wakaf mengidentifikasi calon nasabah agar kucuran modal tepat sasaran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo