Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kira-kira 20 tahun sejak ia dilupakan, Albert Camus dikenang kembali. Di hari ulang tahunnya ke-100 simposia diadakan di seluruh dunia. Pekan lalu di Bandung peringatan satu abad penulis Prancis itu berlangsung selama sebulan. Seluruhnya dirancang dan diselenggarakan para mahasiswa; tak semuanya dari sastra Prancis.
Di malam terakhirnya, 28 November 2013, sekitar 400 hadirin, sebagian besar berumur di bawah 35 tahun, berjubel di auditorium IFI (Institut Français Indonesia) untuk mendengarkan ceramah tentang pengarang itu.
Mengapa Camus? Saya tak bisa menjawabnya dengan pas.
Camus bukan hanya satu cerita, dan kita bukan hanya satu pikiran.
Dusun di perbukitan pantai utara Aljazair itu, Djémila, adalah lanskap dengan puing imperium Roma. Juga bukit, langit lazuardi, dan laut.
Ketika berumur 26 tahun Camus berkunjung ke sana. Catatannya:
…di tempat ini, para penakluk telah menandainya dengan
peradaban para opsir rendahan. Mereka rumuskan ide yang menggelikan tentang "keagungan"; mereka ukur keagungan sebuah imperium berdasar luasnya permukaan bumi yang direngkuh.
Yang ajaib adalah bahwa puing-puing peradaban itu justru yang menampik ideal mereka. Di kota yang tinggal rangka ini, bila kita lihat dari atas ketika malam mendekat dan sayap-sayap putih merpati mengitari sisa gerbang kemenangan, tak ada tanda apa pun yang ditatah di langit, tak ada tanda apa pun tentang ambisi dan penaklukan.
Pada akhirnya, dunia mengalahkan sejarah. Batu-batu Djémila berseru ke selangkang gunung, antara langit dan kesunyian: aku kenal betul puisi itu, cerah, acuh tak acuh, tanda-tanda sebenarnya dari keindahan atau tiadanya harapan….
Di sini kita tak hanya menemukan satu fragmen puitik yang khas Camus, tapi juga thema utamanya. "Pada akhirnya, dunia mengalahkan sejarah." Jika ada ketegangan dalam filsafat Camus, itu adalah ketegangan antara "dunia" dan "sejarah".
"Dunia" di sini adalah reruntuhan tua, angin senja, sayap merpati, langit di hari hujan, embik kambing yang mendadak di gigir gunung, tubuh yang menikmati laut dan renang. Juga kesadaran akan kematian. "Dunia" adalah segala sesuatu yang konkret, khas, berproses, fana, namun tak tergantikan.
Bagi Camus, hidup bermula di situ. Hidup tak bermula dari pikiran, kesadaran, atau ide. Hidup bahkan tak bisa ditangkap dengan konsep-konsep.
Para penulis segenerasinya, menjelang 1940-an—mereka yang sering disebut "eksistensialis"—menggugat rasionalisme: meragukan, bahkan menampik, pandangan yang meletakkan inti pikiran murni, res cogitans dalam teori Descartes, sebagai pusat yang terpisah dari dunia, bahkan menentukan adanya dunia.
Camus tak hendak dimasukkan ke kategori "eksistensialis". Tapi sebagaimana Sartre dan yang lain, ia menulis karya kreatif—sastra dan lakon—di mana imajinasi, ingatan, dan ketaksadaran memegang peran lebih besar ketimbang pikiran. Camus bahkan tak melihat diri sebagai seorang filosof. "Saya hanya berbicara tentang hidup yang saya alami," katanya. Yang dialaminya: "nihilisme, kekerasan, dan pusaran kehancuran".
Ia dibesarkan di antara dua perang besar yang destruktif dan kemiskinan yang panjang. Ibunya seorang babu cuci yang setengah tuli; ayahnya buruh tani yang tak pernah dikenalnya karena tewas dalam pertempuran di Eropa. Sulit bagi Camus meyakini bahwa hidup bersifat rasional, dan dengan rasionalitas sejarah bisa disebut "kemajuan".
Kita telah mendengar bagaimana lanskap Djémila hadir di hadapannya: bukan tanda kekuasaan dan kejayaan, tapi indahnya langit yang kosong, tanpa tanda penaklukan.
Di sana, dunia kita temui dengan sabar dan "menanggungkan". Nous patientons—plutôt nous pâtissons.
Dunia yang seperti itu juga hadir kembali di pantai Tipassa:
Tengah hari, di lereng yang setengah tertutup pasir itu, yang bertaburkan kembang matahari bagaikan riak yang ditinggalkan gelombang ganas ketika surut, kutatap laut, yang naik-turun pelan, seakan-akan telah lelah; kutebus kedua dahagaku, dahaga yang tak dapat diabaikan lebih lama jika hidup tak ingin seluruhnya kering—dahaga untuk mencintai dan dahaga untuk mengagumi….
Dahaga untuk mencintai, untuk mengagumi: tanpa itu hidup tak ada gelora. Bila pada saat yang sama kita hanya terus-menerus menuntut—termasuk menuntut keadilan—akan ada kehilangan: cinta jadi mustahil, sementara keadilan tak cukup. Bagi Camus, kita harus kembali ke "keindahan purba, langit yang muda".
Itu sebabnya ia mempersekutukan "peradaban"—yang kehilangan "keindahan purba" itu—dengan "sejarah". Sejarah baginya tragis. Sebagaimana halnya kemajuan dan peradaban, sejarah merusak pertalian manusia dengan alam. "Orang tak dapat mendengar pekik burung-burung dalam dingin malam—dunia sebagaimana adanya. Sebab ia telah diliputi satu lapisan tebal sejarah yang harus ditembus, agar bahasanya dapat kita dengarkan."
Maka sejarah sesungguhnya hanya pengganggu. Ia tak punya makna, seperti hidup itu sendiri. Tapi berabad-abad ilusi dibangun menutupi absurditas itu. Agama, terutama Kristen, mendoktrinkan bahwa sejarah bukan gaduh dan rusuh yang tak berarti apa-apa, melainkan sebuah garis lurus yang akan berakhir dengan Surga. Tuhan adalah sang penentu.
Tapi pada suatu masa, agama surut, "Tuhan mati". Di saat itu manusia seharusnya merdeka. Tapi tidak. Ia tak meneruskan pembangkangannya. "Lepas dari penjara Tuhan," kata Camus, "perhatiannya pertama adalah untuk membangun penjara sejarah dan akal budi."
Dalam filsafat Camus, sejarah adalah "penjara", atau "sirkus", atau "titah".
Saya kira ada ambiguitas, bahkan inkonsistensi, dalam pengertian Camus tentang sejarah. Di situlah kelemahan posisinya. Dalam L'Homme Révolté ia dengan berapi-api mengecam Hegel dan Marx yang memandang sejarah sebagai yang diasumsikan akan bergerak ke satu tujuan. Baginya, kesalahan Hegel, sebagaimana dusta ajaran agama, ialah memastikan akan adanya "akhir sejarah", tahap pemungkas ketika manusia akhirnya merdeka. Atau, dalam teori Marx, akan ada masyarakat komunis yang makmur, adil, tak berkelas.
Camus menilai pandangan itu cenderung membuat manusia tak berarti: manusia, "tubuh-tubuh", hanya jadi alat untuk tujuan yang muluk dan mustahil, ke sebuah masa depan, ke sebuah Utopia. "Utopia mengganti Tuhan dengan masa depan," tulisnya. Kita mengerti: ia berbicara dengan latar belakang tahun 1950-an, ketika di bawah Stalin, Revolusi Marxis-Leninis di Uni Soviet—yang bermula menjanjikan pembebasan itu—ternyata membangun kamp konsentrasi dan membunuh kader-kadernya sendiri. Atas nama masa depan.
Pembunuhan memang mudah jadi halal jika jalan ke masa depan begitu meyakinkan dan sejarah begitu agung. Tapi memandang sejarah seagung itu bukanlah sikap yang lahir dari pengalaman yang konkret. Dalam pengalaman yang konkret, manusia tak pernah tahu adakah "akhir sejarah". Ia tak persis tahu bagaimana nanti jadinya.
Ironisnya, Camus sendiri di sana-sini terseret ke dalam abstraksi yang sama. Ketika ia menyebut kata "penjara sejarah", metafor itu menunjukkan ia memandang sejarah sebagai yang hanya punya corak: penindasan. Dengan kata lain, metafor itu hasil sebuah abstraksi. Maka ia tampak sebagai sesuatu yang tanpa tujuan—dan mutlak.
Dalam hal ini, Sartre lebih benar. Ketika Camus tewas dalam kecelakaan mobil, Sartre—lawan politik dengan pandangan filsafat yang berseberangan—menulis sebuah obituari yang mengharukan, terbit 7 Februari 1960. Ia berkabung, tapi ia tak lupa menunjukkan apa yang tak terjawab oleh Camus: jika tak kita lihat laku manusia yang menjalaninya, sejarah hanyalah sebuah konsep yang abstrak dan tak bergerak. Tentang itu, kita tak bisa mengatakan bahwa ia punya atau tak punya tujuan. Tapi sementara kita tak bisa mengetahui ke mana arah sejarah, "Kita bisa memberinya satu tujuan," tulis Sartre.
Di saat itu, Sartre tak salah: Camus akhirnya tampak seperti orang yang tak hendak melangkah ke dunia yang penuh risiko dan tak pasti, sebab hanya dengan itulah orang ikut menentukan arah sejarah.
Tapi kita bisa mengerti pesimisme Camus. Ia telah menyaksikan begitu banyak kejadian ketika arah itu akhirnya dikhianati. Yang saya kurang paham—mungkin karena kecenderungannya memakai kalimat-kalimat yang punya getar dramatik, terutama dalam L'Homme Révolté—Camus sendiri seperti terlupa akan kebahagiaannya yang tersembunyi.
Katakanlah benar bahwa sejarah—atau peradaban, atau kemajuan—merusak. Tapi ia pernah punya keyakinan sederhana di tepi pantai Djémila: "Pada akhirnya, dunia mengalahkan sejarah."
Dan bukankah kita akan selalu ingat, di tahun ke-100 ini, kata-katanya yang terkenal ini: "Matahari mengajariku bahwa sejarah bukanlah segala-galanya"?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo