Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dari Estonia sampai Georgia: Alasan Negara-Negara Kecil Pecahan Soviet Cenderung Mendekat ke Barat

Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang berada di bawah kepemimpinan Soviet, negara-negara kecil yang bertetangga dengan Rusia tidak mudah menentukan sikap dalam rivalitas negara Barat melawan Rusia.

28 Maret 2022 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung sekitar tiga minggu telah menyebabkan ribuan rakyat sipil meninggal dan terluka, serta jutaan orang di Ukraina terpaksa mengungsi ke negara sekitar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mayoritas analis dan publik menilai bahwa yang terjadi di Ukraina adalah pertarungan dua kekuatan besar, yaitu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) – yang anggotanya termasuk Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, dan sebagian besar negara lain di Eropa – dengan Rusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin banyak yang juga mempertanyakan mengapa negara kecil di kawasan Eropa Timur, seperti Ukraina, Georgia, dan Moldova justru cenderung mendekat ke kubu negara Barat. Georgia dan Moldova, misalnya, mengajukan proposal bergabung ke Uni Eropa (UE) di waktu yang nyaris bersamaan dengan Ukraina.

Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang berada di bawah kepemimpinan Soviet, negara-negara kecil yang bertetangga dengan Rusia tidak mudah menentukan sikap dalam rivalitas negara Barat melawan Rusia. Opsi netralitas sebenarnya tidak bisa menjadi satu-satunya opsi rasional yang bisa diambil.

Negara-negara kecil butuh perlindungan

Secara teori, negara kecil yang bertetangga dengan negara besar selalu berada dalam situasi terancam, karena mereka sangat bergantung pada apakah negara besar tersebut akan menghargai kedaulatan mereka.

Negara kecil dihadapkan pada dua opsi:

Pertama,bersikap netral demi menjaga keamanan wilayah mereka. Finlandia, misalnya, memilih netral demi menenangkan Rusia.

Kedua, beraliansi dengan negara besar, karena negara kecil membutuhkan shelter atau tempat berlindung.

Menurut shelter theory atau “teori lindung” yang dikemukakan oleh Baldur Thorhallsson, Professor Kajian Eropa dari University of Iceland di Islandia, dan Sverrir Steinsson, peneliti doktoral di George Washington University di AS, negara kecil selalu mencari perlindungan secara politik dan ekonomi. Tempat berlindung ini bisa berupa negara tetangga yang lebih besar maupun organisasi internasional.

Bagi negara-negara bekas Soviet, tempat berlindung sebetulnya bisa didapatkan dari negara tetangga besar yang memiliki hubungan historis dengan mereka, yaitu Rusia. Inilah mengapa beberapa negara di Kaukasus Selatan dan Asia Tengah seperti Armenia, Belarus, Kazakhstan, dan Kirgistan, bergabung dengan pakta pertahanan milik Rusia serta dengan organisasi integrasi ekonomi kawasan Eurasia yang diinisiasi Rusia.

Berdasarkan kondisi tersebut, dorongan untuk bersikap netral terus mengemuka, bukan hanya terhadap Ukraina, tapi juga Georgia dan Moldova.

Namun, saran seperti itu jelas mengesampingkan memori sejarah pendudukan Uni Soviet di negara-negara tersebut.

Memori kelam pendudukan Soviet

Sebagian besar negara-negara kecil di Eropa Timur melihat Rusia sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penderitaan dan kesengsaraan mereka selama pendudukan Uni Soviet.

Masyarakat Estonia dan Latvia, misalnya, sampai saat ini menganggap bahwa Soviet telah melakukan “Russifikasi” dalam banyak hal, seperti mendatangkan pekerja etnis Rusia dalam jumlah besar ke dua negara tersebut, mendeportasi massal warga Estonia dan Latvia ke wilayah terpencil, memaksakan penggunaan bahasa Rusia, serta melakukan opresi terhadap identitas lokal Estonia dan Latvia.

Ukraina juga menganggap ratusan tahun masa Uni Soviet dan Kekaisaran Rusia, terutama di era Joseph Stalin (1928-1953), sebagai periode kelam, terutama terkait dengan tragedi kelaparan Holodomor di tahun 1933, serta represi terhadap nasionalisme dan rasa kebangsaan Ukraina.

Dampak dari cara pandang memori sejarah ini adalah menguatnya sikap anti-Rusia.

Setelah merdeka, Estonia, Latvia, dan Ukraina mendorong penggunaan bahasa mereka sendiri. Georgia juga mengganti bahasa kedua mereka dari Bahasa Rusia menjadi Bahasa Inggris.

Di saat yang sama, kebijakan luar negeri Rusia justru semakin berpegang teguh pada “Russian World” yang menganggap kompatriot (etnis dan pengguna bahasa) Rusia sebagai bagian dari peradaban mereka. Prinsip ini berdampak pada praktik dukungan Rusia bagi kompatriot mereka di negara lain.

Hal ini dianggap mengancam kedaulatan negara-negara kecil tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan Rusia dengan dalihnya untuk masuk ke Abkhazia dan Ossetia Selatan maupun ke Donetsk dan Luhansk. Begitu pula dengan dukungan Rusia pada wilayah Transnistria di Moldova serta perluasan pengaruh Rusia pada kompatriot mereka di Estonia dan Latvia.

Berlindung pada NATO dan Uni Eropa: opsi paling rasional

Memori penjajahan Soviet dan besarnya sentimen anti-Rusia membuat negara-negara kecil di Eropa Timur sulit memilih opsi netralitas, apalagi untuk beraliansi dengan Rusia.

Pemerintah Rusia menyatakan bahwa tidak akan mengancam siapapun dan akan menghargai kedaulatan negara pecahan Soviet, namun memori sejarah telah membuat negara-negara tersebut meragukan komitmen Rusia akan perdamaian.

Ketidakpercayaan ini diperparah dengan kebiasaan Rusia untuk mencampuri urusan domestik negara-negara kecil ini, seperti serangan Rusia ke Georgia tahun 2008, pengakuan kemerdekaan Abkhazia dan Ossetia Selatan, pencaplokan Krimea, dukungan bagi kemerdekaan Donetsk dan Luhansk, serta, tentu saja, invasi ke Ukraina kali ini.

Oleh karena itu, banyak negara-negara kecil pecahan Soviet, terutama di Eropa Timur, lebih memilih mendekat ke UE dan NATO.

Dampaknya, pencarian solusi demi terciptanya perdamaian di Ukraina dan di kawasan Eropa Timur tentu perlu juga mempertimbangkan cara pandang negara kecil ini.

Di tengah situasi perang, opsi netralitas tentu sulit diterima oleh negara-negara kecil ini karena dianggap akan membuka jalan bagi ancaman Rusia di masa datang.

Oleh karenanya, perlu ada jaminan dari negara-negara besar di kawasan, termasuk Rusia sendiri, bahwa opsi netralitas tidak akan mengembalikan negara-negara ini di bawah dominasi Rusia, serta tidak menghambat kemajuan politik dan ekonomi mereka. Sebelum jaminan itu ada, sulit membayangkan Ukraina dan negara-negara kecil di kawasan Eropa Timur untuk berhenti mencari perlindungan ke Uni Eropa dan NATO.The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus