Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dari jong java ke asean

Patriotisme sebagai ungkapan cinta tanah air, pada tahap lebih lanjut menjadi unsur utama dalam nasionalisme. patriotisme dalam menyongsong abad ke-21, mencakup wilayah asean, dan bumi yang kita cintai.

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I PATRIOTISME dalam arti cinta tanah air telah terdapat di semua daerah di Indonesia, jauh sebelum kita mengenal istilah itu. Tiap kelompok manusia mencintai dan membela tanah air yang melahirkan dan menghidupinya. Patriotisme atau cinta tanah air pertama-tama mencakup perasaan terikat, terjalin, dan berakar kepada alam yang dihuni, termasuk gunung, sungai, sawah, ladang, hutan, pantai, awan, tetumbuhan, dan margasatwanya. Patriotisme juga meliputi perasaan terikat, terjalin, dan berakar kepada penduduk yang menghuni tanah air itu, yang dirasakan sebagai keluarga besar, dengan bahasa, adat istiadat, kebudayaan, sejarah maupun mitos, dan kehormatannya. Pada tahap lebih maju, patriotisme juga terdiri dari perasaan terikat, terjalin, dan berakar kepada suatu kesatuan politik berupa bangsa dan negara. Dalam hal ini, patriotisme menjadi unsur utama dalam nasionalisme. Pada dasarnya, patriotisme dan nasionalisme mempunyai fungsi positif sebagai faktor integrasi. Tetapi, patriotisme dan nasionalisme itu dapat juga merosot menjadi faktor negatif dalam bentuk sovinisme, yang mengagung-agungkan kelompok sendiri, dan menganggap rendah serta memusuhi kelompok lain. II Sejak kita memasuki era Kebangkitan Nasional pada 1908, kita telah mengembangkan patriotisme dalam arti yang modern. Dalam hubungan itulah Roeslan Abdulgani telah memberikan gambaran mengenal perubahan dalam bentuk dan isi patriotisme kita sejak permulaan abad ke-20 sampai sekarang. Perubahan itu dapat kita telusuri lewat sejarah pergerakan kemerdekaan (1908-1945), melalui sejarah perang kemerdekaan, revolusi, dan pergolakan intern (1945-1965), dalam tahap awal pembangunan nasional (1965-1985), dan pada sejarah pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tahap tinggal landas (sejak 1985 sambil menyongsong abad ke-21). Mula-mula patriotisme kita terjalin, terikat, dan berakar kepada kedaerahan dalam bentuk Jong Java, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan sebagainya. Kemudian patriotisme kita terikat, terjalin, dan berakar kepada nasionalisme Indonesia. Pernah terdapat persaingan, apakah patriotisme kita akan terikat, terjalin, dan berakar kepada nasionalisme, kepada paham keagamaan, atau kepada suatu paham kemasyarakatan. Dengan lahirnya Pancasila, pada 1945, persaingan itu pada dasarnya telah diatasi. Sejak itu, patriotisme kita terikat, terjalin, dan berakar kepada Pancasila, seperti, antara lain, diungkapkan dalam Saptamarga. Sekarang ini, dan di tahun-tahun mendatang, patriotisme kita terikat, terjalin, dan berakar kepada pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tahap tinggal landas. Dalam hubungan itu, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sangat penting untuk bersaing dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa modern lain, seperti ditekankan Roeslan Abdulgani. III Tiap gerakan dan kelompok terjalin dengan faktor kekuasaan, sekalipun skalanya berbeda-beda. Tidak tepat apabila dikatakan bahwa patriotisme kita baru berkenalan dengan faktor kekuasaan setelah kita menjadi bangsa dan negara yang merdeka. Selama pergerakan kemerdekaan, kita telah mengenal kekuasaan di dalam partai-partai politik. Juga tidak tepat apabila digambarkan bahwa kita telah memenangkan perjuangan kemerdekaan hanya dengan patriotisme yang berjiwa herois-romantis. Perang kemerdekaan kita merupakan adu kekuatan dan adu kekuasaan dengan Belanda. Kita telah menjalankan strategi politik, militer, dan diplomasi, ketika patriotisme herois-romantis merupakan faktor penting, tetapi bukan faktor penentu satu-satunya. IV Sekalipun sejak dulu patriotisme kita terjalin dengan faktor kekuasaan, benar bahwa setelah kita menjadi negara dan bangsa merdeka, khusus setelah kita memasuki era pembangunan, skala kekuasaan di tangan kita berlipat ganda puluhan kali. Apabila kita mencapai tahap tinggal landas, yaitu "naik kelas" menjadi negara maju, kekuasaan itu akan berlipat ganda lagi. Roeslan Abdulgani mengutip Lord Acton, yang berkata bahwa kekuasaan cenderung membuat pemegangnya korup. Sebetulnya, korupsi tidak bersumber kepada kekuasaan, tetapi kepada manusia sendiri. Manusia memiliki kecenderungan yang baik, tetapi juga kecenderungan buruk. Sekiranya manusia hanya memiliki kecenderungan yang baik, tidak akan diperlukan kekuasaan negara dan kekuasaan pemerintahan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan kepastian hukum bagi semua orang. Masalahnya, kekuasaan negara, kekuasaan pemerintahan, kekuasaan ekonomi, serta kekuasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berada di tangan manusia-manusia yang dapat menggunakannya dengan baik, tetapi dapat juga menyalahgunakannya. Karena itu, dalam negara modern terdapat prinsip bahwa tiap kekuasaan harus ditempatkan di bawah pengawasan secara melembaga, sehingga tiap penyalahgunaan kekuasaan dapat secara dini dideteksi dan dikoreksi. Moral Pancasila yang disumberi jiwa religius monoteistis disebut Roeslan Abdulgani sangat penting dalam hubungan ini. Tetapi moral Pancasila itu harus melandasi, mendorong, dan mengarahkan upaya untuk terus mengembangkan sistem pengawasan yang efektif terhadap tiap kekuasaan, dalam rangka pendewasaan sistem politik Demokrasi Pancasila. Pengawasan tidak hanya diperlukan di bidang administratif, tetapi juga di bidang politik. Penegasan Bung Karno, bahwa politik terdiri dari pembentukan dan penggunaan kekuasaan, harus ditambah dengan pengawasan kekuasaan. Dalam sistem politik Demokrasi Parlementer, pengawasan politik itu dilembagakan dalam bentuk oposisi dan pengawasan parlemen terhadap eksekutif. Dalam sistem politik Demokrasi Pancasila kita tentu melembagakan pengawasan politik itu dengan cara sendiri. Cara itu tentu tidak boleh kurang efektifnya dibandingkan pengawasan politik dalam sistem-sistem lain. Ini merupakan salah satu tugas utama bagi patriotisme kita, khususnya menjelang penyusunan GBHN 1988. V Tanggung jawab lebih luas, mengenai wilayah Asean, mengenai Asia Tenggara, dan mengenai bumi kita yang telah menjadi kecil ini, tempat seluruh umat manusia akan bersama-sama hancur atau bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik, juga tercakup pada patriotisme kita dalam menyongsong abad ke-21. Itu berarti Asean, Asia Tenggara, dan bumi kita adalah "tanah air" yang juga kita cintai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus