Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Zen Umar Purba
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
PEMERINTAH baru, cakrawala baru. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid melemparkan gagasan tentang perlunya meningkatkan pemberdayaan sumber daya alam (SDA) laut. Dalam acara di Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, pekan lalu, Presiden mengatakan, selama ini SDA laut lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak lain. Ini terjadi karena kurangnya orientasi kita ke laut. Menurut Presiden, kita harus memperkuat bidang kemaritiman kita. "Jangan lagi seperti kemarin, kita dipengaruhi kebudayaan Mataram," ujar Presiden sembari menekankan bahwa bangsa kita dari dulu terkenal sebagai bangsa pelaut. Lihatlah pelaut-pelaut kita dari Sulawesi, Madura, Aceh, dan sebagainya.
Ihwal kelautan sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia, yang terdiri atas lebih dari 13 ribu pulau. Masalah ini telah lama dibahas dan diperjuangkan sampai akhirnya kita nyaris lupa. Itu dimulai dengan Deklarasi Djuanda 1957, yang memperjuangkan diakuinya konsep negara kepulauan bagi Indonesia, yaitu satunya wilayah darat atau pulau-pulau dengan laut atau perairan. Dengan ungkapan lain, dalam kondisi geografis Indonesia yang khas itu, laut yang terletak di antara pulau-pulau tersebut tiada lain adalah penghubung, yang dengan demikian merupakan bagian dari kesatuan wilayah republik ini. Sebagai wilayah, tanah dan air itu tunduk pada kedaulatan Indonesia. Jadi, Laut Jawa, Selat Makassar, dan perairan Maluku, misalnya, bukanlah laut bebas atau laut lepas (high sea). Indonesia berdaulat penuh untuk memanfaatkan kekayaan yang terdapat di seluruh perairan kepulauan itu (archipelagic waters).
Di luar perairan kepulauan, terdapat pula sabuk laut selebar 12 mil, yang berada di lingkar luar dari pulau-pulau dan perairan tadi. Kolom air itu dinamai laut teritorial (territorial sea), yang sepenuhnya juga tunduk pada kedaulatan Indonesia. Hitung-hitung, perbandingan luas perairan dan daratan yang tunduk pada kedaulatan kita adalah 3 : 1.
Perjuangan di forum internasional—untuk mendapatkan pengakuan atas rezim negara kepulauan ini—tak kalah panjang. Alhamdulillah, konsep itu akhirnya dapat disetujui, sebagaimana tertuang dalam UN Convention on the Law of the Sea 1982. Konvensi hukum laut ini juga memberikan rezeki tambah bagi negara-negara berpantai (termasuk negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius), yaitu adanya kolom laut seluas 200 mil ke arah luar dari laut teritorial yang sudah disebutkan di muka.
Disebut zona ekonomi eksklusif (ZEE), daerah laut ini dikhususkan semata-mata guna memanfaatkan SDA. Jadi, dari sudut hukum internasional, bagi Indonesia, kekayaan lautnya berada masing-masing di perairan kepulauan, laut teritorial, dan ZEE Indonesia. Secara nasional, kita juga telah memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan berkenaan dengan masalah kelautan ini, dimulai antara lain dari Undang-Undang tentang Perairan Indonesia, UU tentang ZEE Indonesia, dan UU tentang Perikanan.
Urusan laut pun telah membasahi daerah. Ini tentu saja akan sangat relevan dikaitkan dengan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. UU Pemerintahan Daerah 1999 telah mengatur hal tersebut, yang berbeda dengan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya (1974). Dalam UU ini ditentukan bahwa wilayah provinsi di laut adalah 12 mil dari pantai. Tapi belum diatur batas laut dari provinsi yang berdampingan, misalnya antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam penanganan berbagai kepentingan di laut. Sebab, sebagaimana layaknya wilayah darat, di laut bertemu berbagai macam kepentingan: pelayaran, perikanan, pertambangan, telekomunikasi, cagar alam, dan lain-lain. Jangan lupa pula masalah pelestarian lingkungan laut.
Bagaimanapun, pernyataan pertama Presiden Keempat RI di atas merupakan respons politik. Para pengamat bidang kemaritiman selama ini merasa sendu melihat ternganganya konsepsi negara kepulauan yang telah dapat diperjuangkan dari sudut hukum itu. Tanggapan Presiden ini tampaknya merupakan kemauan politik cukup serius. Tiga hari setelah pernyataannya, Presiden Abdurrahman Wahid mewujudkannya dengan pembentukan kementerian yang mengurusi eksplorasi laut, yang dipimpin oleh Menteri Sarwono Kusumaatmadja. Indikasi lain dapat dilihat dari penunjukan petinggi Angkatan Laut sebagai Panglima TNI. Mudah-mudahan "nenek moyangku orang pelaut" tidak tinggal sekadar nyanyian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo